Oleh : Navarin Karim
Berbagai visi dan misi kota Jambi mulai dari Kota Beradat, Kota Bernas, Bangkitlah Negeriku hingga menuju kota Bahagia, namun pemindahan sampah masih manual dan tidak manusiawi. Coba anda cermati ketika Pemindahan sampah dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) akan dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia. Sampah kering dan basah menyatu di TPS dan diambil pekerja secara manual dengan menggunakan cangkul dan skop untuk mengeruknya dan pengki untuk wadah menaikkan ke atas truk. Pekerja dengan tangan telanjang dan tanpa menggunakan masker mereka mengeruk dan mengangkat sampah-sampah tersebut. Jika anda kebetulan melintas di sekitar tempat tersebut anda mungkin langsung menutup hidung. Setelah sampah dinaikkan ke atas truk, mereka berdiri pula di belakang bak sampah. Mereka seolah “bahagia” dan santai saja menghirup aroma tidak sedap tersebut. Hidungnya seolah sudah terbiasa dengan berbagai macam aroma busuk tersebut dan mengabaikan ancaman penyakit yang dapat mereka hadapi. Oh tega-teganya mereka pada dirimu seperti bait lirik lagu yang dinyanyikan Megi Z. Ini dimaknai hilangnya sense “nguwongke” pihak yang mempekerjakan petugas pembuang sampah tersebut. Mari kita bercermin dalamnya praktek nguwongke yang diaktualisasikan mantan Presiden ke dua Republik Indonesia yaitu alm. Soeharto.
Ketika memperingati sepermpat abad KTT Asia-Afrika tahun 1980, beliau menerima berbagai tamu negara dari negara kaya hingga negara miskin dan atau berpenduduk sedikit. Jimmy Carter Presiden AS ketika itu, disambut dengan upacara militer dan ditempatkan di hotel berbintang lima. Lantas ada Kepala negara dari suatu negara di Oseania yaitu Vanuatu yang hanya berpenduduk lebih kurang 200.000 orang juga hadir. Tanri Abeng sebagai Menteri yang ditugaskan menyambut tamu ketika itu konsultasi dengan Presiden. Bagaimana pak kalau Presiden Vanuatu perlakuan pelayanannya tidak sama dengan Presiden Jimmi Carter. Keinginan Tanri Abeng penerimaannya tidak perlu dilakukan upacara militer dan ditempatkan di hotel bintang tiga saja. Presiden Soeharto menanggapi : tetap diberlakukan sama dengan Presiden Jimmi Carter, kita harus nguwongke. Mungkin Tanri Abeng yang berasal dari Sulawesi Selatan, pulang dari istana negara terpaksa buka kamus Jawa Indonesia, apa makna nguwongke. Maklum tahun 1980 belum ada mbah google yang pintar.
Soeharto berjaya menjadikan Indonesia sejahtera sehingga dapat julukan macan Asean ketika itu, karena belau concern dengan persoalan Nguwongke. Pengejawantahan nguwongke dapat kita simak dari tiga pilar kebijakan pembangunan ketika itu yaitu Keluarga Berencana, Transmigrasi dan Koperasi. Melalui program Keluarga Berencana (KB) beliau berhasil nguwongke ibu-ibu, yang sebelumnya hanya melahirkan anak dan berkutat dari dapur, sumur dan kasur, sekarang banyak menjadi wanita karier. Program Transmigrasi berhasil, Soeharto nguwongke orang Jawa yang tidak punya lahan pertanian. Sekarang penduduk yang dulu tinggal di daerah transmigrasi banyak yang berhasil dalam kehidupan, bahkan tidak sedikit yang berhasil dalam pendidikan tertinggi S3 dan memperoleh jabatan akademik guru besar di Perguruan tinggi. Program koperasi dapat melindungi masyarakat dan petani dari tengkulak dan pengijon. Masa Soeharto koperasi dalam satu desa kadang sampai ada dua Koperasi Unit Desa (KUD). Kemudian hampir menghilang, ganti rezim ganti pula program. Kepemimpinan Presiden Prabowo kembali akan mengaktualisasikan koperasi. Sekarang sedang heboh pembentukan Koperasi, satu kelurahan satu koperasi bahkan akan dibantu dana 3 Milyar untuk satu koperasi kelurahan. Miracle sekali. Ini jelas inspirasinya dari keberhasilan masa Soeharto dan meredam maraknya pinjaman on line (Pinjol).
Bicara tentang nguwongke, tak bisa kita melupakan kontroversi Soeharto dalam praktek Nguwongke yaitu antek-antek PKI yang dipenjara tanpa diadili terlebih dahulu, praktek penembakan misterius (Petrus), kasus Tanjung Priok dan kasus Semanggi. Mudah-mudahan dalam aktulisasi nguwongke, lurus-lurus saja dan punya nilai kemanusiaan yang dikedepankan. Hindari kontroversi, sehingga tidak terjebak kepada pelanggaran Hak-Hak Azasi Manusia (HAM). Kasus penjara yang over capacity, disamping tidak nguwongke juga bisa terjebak dalam pelanggaran HAM.
Kembali kepada pure persolan nguwongke yang masih eksis dalam pandangan kita yaitu penjaga Toilet. Jarak toilet dengan penjaga sangat dekat. Coba bayangkan ada bunyi sesuatu ke dalam toilet kedengaran sipenjaga. Jika bunyi seperti benda padat jatuh ke air masih lumayan, tapi jika bunyinya lembek. Benar-benar tidak manusiawi dalam mempekerjakan orang. Ada lagi Porter di bandara. Padahal kereta dorong sudah disediakan, masih ada pula porter. Pengemis di persimpangan jalan dan pelayanan manusia usia lanjut (manula) di panti jompo ala kadarnya adalah bukti persoalan kinerja Dinas Sosial belum optimal dalam mengorangkan orang (nguwongke).