Navarin Karim

Megawati di Pusaran Demokrasi (Tinjauan Idealisme Politik)

Oleh : H. Navarin Karim

 

Megawati Sukarno Puteri adalah anak biologis Presiden Republik Indonesia pertama, pernah mengalami pahit, asin dan manisnya demokrasi Indonesia. Partai Demokrasi Indonesia  Perjuangan (PDIP) dipimpinnya sejak reformasi 1998. PDIP merupakan partai yang berideologi nasionalis tidak berbeda jauh dengan PDI masa Orde baru. Penggantian nama di masa reformasi mungkin menghilangkan trauma partai tersebut pernah digembosi bersama Partai Persatuan Pembangunan  (PPP) ketika masa Orde Baru. 

 

Pelaku reformasi pasti tidak bisa melawan lupa saat Pemilu tahun 1999 ketika sistem pemilihan Presiden  tidak langsung masih diterapkan. Hal yang unik PDIP selaku partai pemenang pemilu, artinya mendominasi legislatif malah tidak terpilih sebagai Presiden dan harus puas sebagai wakil Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ini akibat adanya manuver siasat poros tengah yang dilancarkan oleh Amin Rais. Pahit memang istilah komentatator sepakbola (Valentino Jebret). Namun sempat dua tahun beliau menikmati manisnya demokrasi, manakala Amin Rais selaku ketua MPR Republik Indonesia melakukan sidang istimewa karena Gus Dur melanggar konstitusi yaitu membuat dekrit Presiden tanpa persetujuan DPR RI, maka naik tahtalah wakil Presiden menjadi Presiden. Gara-gara Amin Rais ini lagu Rhoma Irama : kau yang mulai kau mengakhiri (Gusdur) kembali populer.

Ketika  Megawati  menjadi Presiden, beliau mengusulkan Pemilihan Presiden dilakukan secara langsung, walau tidak sejalan dengan demokrasi Pancasila, karena diadopsi dari demokrasi Barat. Implementasinya demokrasi langsung berlaku ketika pilpres 2004. Kembali, rasa pahit terjadi, karena kompetitor  yang merupakan salah seorang Menterinya  maju sebagai pesaing dan beliaupun harus menerima kenyataan kalah dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Yusuf  Kalla. Ketika itu PDIP memosisikan diri sebagai oposisi.. Tahun 2009 Megawati tidak maju dalam kompetisi pemilihan Presiden, Tahun 2014 ketika sudah dua periode SBY berkuasa, kembali Megawati kepiawaiannya berpolitik memilih Jokowi yang “dianggap pemimpin merakyat” nenjadi calon Presiden dukungan  PDIP. Ternyata menang pilihan ibu Megawati ini. Ada anekdot Jokowi digendong ibu Mega. Yusuf kalah kembali menjadi wakil Presiden RI karena berpasangan dengan Jokowi. Tahun 2019 Jokowi kembali didukung PDIP sebagai calon Presiden 2019 – 2024. Jokowi kali berpasangan dengan Prof. Dr. H. Makruf Amin. Pada periode kedua ini manis kembali dirasakan Megawati, karena anak beliau Puan Maharani berhasil diposisikan sebagai ketua DPR RI.  Ketika periode ini,  hubungan Jokowi dengan Megawati mulai kurang harmonis. Fenomenanya terbaca manakala Megawati menyebut Jokowi sebagai petugas partai. Pilpres 2024 Jokowi tidak bisa lagi bisa diusulkan sebagai calon Presiden karena terkendala UUD 1945 amandemen. Megawati tetap mengajukan kadernya sebagai calon Presiden yaitu Ganjar Pranowo, sementara Jokowi yang merasa diatas angin karena survey menunjukkan popularitas dan kepercayaan masyarakat masih cukup tinggi, tak diduga beliau berhasil meyakinkan Partai Gerindera dengan menempatkan Gibran Raka Bumi Raka sebagai calon wakil Presiden yang berpasangan dengan Prabowo Subianto. Gibran sebagai calon  wakil Presiden tanpa restu PDIP, yang berujung agar Gibran mengembalikan kartu anggota PDIP.  Kembali Megawati menelan pil pahit, secara legalitas Prabowo – Gibran selaku pemenang pilpres periode 2024 – 2029, walau dianggap tidak mendapat legitimacy..   Presiden dan wakil  terpilih ini  akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024, dan sekarang Presiden  terpilih sudah mulai kusak kusuk mempraktekkan distribusi dan alokasi kekuasaan. Prinsip orang Jawa menang ora ngasorake masih tetap merupakan andalan kearifan budaya politik Jawa. Upaya membujuk PDIP berkoalisi dengan partai penguasa sepertinya dianggap dingin oleh Megawati. Artinya PDIP akan kembali sebagai oposisi seperti masa SBY berkuasa. Timbul pula semacam kekhawatiran dari Prabowo dengan mengatakan jika tidak mau bergabung, jangan mengganggu. Ini cerminan masih rendahnya kedewasaan berpolitik, seharusnya dengan adanya  penggonggong (watchdog) berarti ada kontrol sosial sebagai roda penyeimbang (balance whell) democracy terhadap pemerintah. Secara struktur kekekuasan,  keadaan sistem politik yang datang akan lebih baik. Tidak lagi terkesan single mayority. Persoalanya ancaman mosi tidak percaya terhadap pemerintah akan menjadi momok yang menakutkan. Pembangunan Politik akan terjadi, namun pembangunan ekonomi dikhawatirkan akan menurun, karena adanya gangguan tersebut.  Menurut Prof Dr. Inu Kencana, M.Si dalam buku Sistem Politik Indonesia diilustrasikan : jika pembangunan politik maju, maka pembangunan ekonomi mundur karena adanya gangguan, sebaliknya jika  pembangunan ekonomi maju, maka pembanunan politik mundur,   karena legislatif dikebiri. Inilah dilema negara yang belum dewasa dalam menerapkan sistem demokrasi.

Penulis: Navarin karim
Editor: Arya Abisatya