Navarin Karim

Menyoal Kebijakan Pengelolaan Sampah Kota Jambi

 

Navarin Karim

Pemerintah kota Jambi kembali mengaktifkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah sebagai tanggapan terhadap tumpukan sampah yang menjadi sorotan setelah lebaran Idul Fitri 1445 H.

Peraturan tersebut menetapkan jam operasional untuk pembuangan sampah mulai pukul 18.00 hingga 08.00 WIB, dengan ancaman denda sebesar Rp. 20 juta dan kurungan 1,5 bulan bagi masyarakat yang tidak patuh.

 

Ada dua hal yang jadi fokus perhatian penulis, yakni mengapa sudah 4 tahun kebijakan tersebut ditetapkan ada semacam keraguan untuk diimplemetasikan secara tegas. Selanjutnya kepantasan pekerja pengangkut sampah dalam melaksanakan tugasnya jika ditinjau dari kemanusiaan (humanity).

Keraguan

Jika suatu peraturan terdapat sanksi (punishment) tidak diterapkan, maka kecenderungan pengabaian dan pembangkangan akan terjadi. Ibarat ucapan klise semata. Keraguan   bisa dimaklumi, mengingat kebijakan publik mensyaratkan harus berpihak kepada rakyat banyak (wong cilik). Kata wong cilik konotasi jangan pula sebagai jargon yang dimaknai seolah penulis pro/simatisan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Namun sekedar mengingatkan kembali kepada pembuat peraturan, bahwa demikianlah seharusnya kebijakan publik (public policy). Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, bisa dibayangkan betapa banyak masyarakat kota Jambi golongan ekonomi lemah yang bakal masuk penjara, karena  tambah sanksi denda uang yang begitu besar. PDRB masyarakat Jambi tentu tidak sama dengan Singapura yang berikan denda besar terhadap masyarakat yang tidak patuh dengan penertiban soal kebersihan kota. Jadi wajar selama 4 tahun setelah kebijakan ditetapkan hingga sekarang belum ditegakkan secara tegas. Jadi hanya sekedar gertak (baca : segeknyo bae). Kebijakan yang ditetapkan disamping ada kelemahan, aspek lain yang paling penting diperhatikan adalah mengkondisikan keadaan. Penulis membandingkan dengan kota Bogor kenapa bersih dan pandangan sampah menumpuk di pinggir  jalan umum boleh dikatakan nyaris tidak kelihatan. Penyebabnya karena mobil pengangkut sampah langsung mengambil sampah di depan rumah-rumah penduduk. Pemerintah Daerah sungguh-sungguh melayani penduduk, karena rakyat bayar uang kebersihan. Bukankah pemerintah kota Jambi sudah bayar uang kebersihan yang diintegrasikan dengan pembayaran air bersih melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).  Jadi masyarakat harus dilayani. Apalagi paradigma baru pemerintahan adalah Pelayanan dan Perlindungan. Jika masyarakat tidak mampu diwajibkan bayar denda. Dimana peran perlindungannya? Dust jadi beban pemerintah pula selama 1,5 bulan memberi makan pelanggar kebijakan di penjara. Efek lain jika oknum masyarakat golongan ekonomi lemah sebagai kepala rumah tangga, maka semakin memperburuk keadaan ekonomi mereka.

Seandainya pemerintah kota (pemkot) Jambi mau mencontoh pemkot Bogor, yang perlu dikondisikan jangka menengah adalah bagaimana jalan di lorong dapat dilalui mobil pengangkut sampah.  Tentu koordinasi dengan pihak IMB harus dijalin secara harmonis. Jika membangun perumahan persyaratan jalan harus diutamakan. Contoh baik seperti komplek/perumahan Citra Raya Land. Jalan dulu yang dibangun, selanjutnya rumah. Bukan rumah  dulu, baru jalan  yang menyesuaikan.

Sehubungan sudah terlanjur jalan sempit di lorong-lorong, maka solusi yang dapat  dilakukan adalah bekerjasama dengan Lurah dan Rukun Tetangga (RT).  RT mencari pengangguran yang  bersedia bekerja memindahkan sampah dari rumah-rumah ke Tempat  Pembuangan Sementara (TPS).  Bukankah memberdayakan pengangguran itu dengan  di suruh-suruh.  Jangan lupa memperhatikan  incentif mereka dari uang yang sudah dipungut dari oleh PDAM dan atau dana swadaya masyarakat  RT.  Sementara untuk komplek perumahan baru merupakan keniscayaan, mobil pengangkut sampah dapat masuk ke lokasi.

Nguwongke

Jika kita melihat tukang angkut   sampah dari  TPS ke atas truk, rasanya pekerjaan jijik dan sungguh  hina pekerjaan yang dilakoni tersebut. Bagaimana tidak!  Kadang tanpa sarung/tangan telanjang   dan tanpa masker mereka memindahkan sampah ke atas truk, kemudian berdiri pula di belakang sampah di dalam truk sampai ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kita ketika lewat tempat sampah sebentar saja, tak tahan dengan aroma busuk menyengat yang menusuk  hidung. Belum lagi resiko kena kuman dan bakteri yang dihadapi pengangkut sampah di TPS. Kenapa mobil pengangkut sampah tidak dirancang bisa langsung memindahkan sampah ke atas truk tanpa harus dikerjakan secara manual Tidak mengorangkan orang (nguwongke) perusahaan yang mempekerjakan demikian. Bisa di contoh seperti di Arab Saudi atau Singapura. Mobil pengangkut sampah tersebut dapat pula memilah mana sampah basah dan kering. Semoga ada   perhatian dan perbaikan dari balon Walikota Jambi ke depan.

Penulis: Navarin Karim
Editor: Arya Abisatya