Navarin Karim

Gugurnya Demokrasi Indonesia (Ekspresi Kepiluan Hati Anak Bangsa)

BETAPA hati takkan pilu, secercah harapan ketika era reformasi terjadi tahun 1998, anak bangsa berharap demokrasi Indonesia akan menuju bentuk ideal. Harapan semakin menguat ketika Prof. BJ. Habibie menggantikan Soeharto karena lengser keprabon. Habibie mencoba menegakkan kembali Demokrasi ideal. Secara perlahan mengurangi jumlah anggota ABRI di legislatif, supaya dominasi single mayoriti Golkar di legislatif dapat berkurang. Disamping itu kebijakan-kebijakan politik yang dibuatnya makin meningkatkan kepercayaan terhadap demokrasi yang dijalankan tidak setengah hati, seperti menerbitkan kembali Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP) media cetak yang dibreidel masa Soeharto. melepaskan tahanan politik yang ditahan karena mereka mengekspresikan kebebasan berpendapat, menetapkan aturan penyelenggara pemilu yang independent, dan menambahkan prinsip pemilu dari langsung umum, bebas rahasia (Luber) plus jujur dan adil (jurdil). Selain itu menerapkan prinsip kebebasan warga Negara memilih kewarganegraaanya melalui kebijakan referendum di Timor Timur. Walau beliau dicerca sebagai penghianat sila Persatuan Indonesia, namun beliau mendapat pujian dunia Internasional dan mendapat sebutan sebagai a great national democracy.

Demokrasi Indonesia diawal reformasi mulai  Presiden Habibie dilanjutkan masa Gus Dur, Megawati, hingga periode I kepemimpinan Jokowi masih terjaga, walau ada bias yang masih dapat ditolerir. Periode kedua mulai dirasakan kematian demokrasi Indonesia, manakala single mayoriti kembali dipraktekkan. Koalisi Merah Putih (KMP) yang diinisiasi  oleh Bapak Prabowo Subianto, mulai tergerus satu persatu bergabung  ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Strategi manuver yang dilakukan Jokowi terhadap Elite politik KMP dengan cara ditawari jabatan strategis, ada yang menjadi ketua MPR dan jabatan—jabatan Menteri. Akhirnya gemboslah KMP.  Berhasillah Jokowi melakukan single mayoriti, walau polanya berbeda dengan masa Orde Baru, tapi prinsipnya sama (similar but different). Dominasi partai penguasa, tanpa oposisi, apakah masih dinamakan demokrasi? Siapa lagi yang mengawal demokrasi jika diserahkan sepenuhnya kepada koalisi penguasa. Jelang berakhir masa jabatannya, beliau melakukan strategi ofensif yang luar biasa, dengan melakukan politik dua kaki. Kaki kiri di PDI Perjuangan dan kaki kanan sebagai pada calon Presiden Prabowo Subianto.  Skema dua kaki ini tidak berjalan baik, karena  hubungan Jokowi dengan PDI Perjuangan menjadi retak, akibat memperjuangkan anaknya Gibran Raka Bumi Raka menjadi balon Wakil presiden.  Gibran tanpa restu PDI Perjuangan  diproklamirkan sebagai Calon wakil Presiden menggunakan perahu Gerindra dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanah Nasional (PAN) dan Partai Solidaritas Indonesia  (PSI) dan Partai Gelelombang Rakyat Indonesia (Gelora).  Sebelum deklarasi turunan dinastinya menjadi cawapres. Ada dugaan pelanggaran Etika keputusan di Mahkamah Konstitusi yaitu ketentuan calon Presiden dan wakil Presiden yang semula usia minimal 40 tahun, keputusan dimodefikasi, tetap usia minimal 40 tahun ditambah kata-kata  atau pernah menjabat sebagai kepala daerah. Masyarakat kritis-pun plesetkan Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga, karena ketua Mahkamah Kostitusi adalah paman Gibran. Skenario ini mengakibatkan  Gibran melengganh mulus sebagai calon wakil Presiden. Penyimpangan  lainnya  yang terjadi  jelang deklarasi Gibran sebagai Cawapres  yaitu  Kaesang Pangarep  merupakan adiknya Gibran (yang putera Jokowi) diusung pula sebagai ketua PSI tanpa melalui pemilihan, seolah secara aklamasi ditunjuk oleh PSI. Sungguh sangat tendensius. Bukankah pilar pertama demokrasi adalah pemilihan, tanpa pemilihan melalui ajang Musyawarah Nasional (Munas) Partai berarti dimaknai penunjukan. Penyimpangan lainnya KPU sebagai penyelengara Pemilu tanpa merubah terlebih dahulu peraturan KPU, langsung keputusan Mahkamah Konstitusi dijadikan referensi dalam penetapan Cawapres.   Banwalu pusat lain lagi, seolah seperti umbul-umbul yang hanya meramaikan struktur pelaksanaan pemilu. Praktek money politik secara terang-terangan dari oknum elite politik pusat seolah tidak digubris dan tidak ada sanksi sama sekali.  Hal ini tentu saja merambah ke daerah dan menimbulkan keberanian dan percaya diri oknum elite politik di daerah melakukan hal yang sama seperti di pusat. Peran Bawaslu sebagai pengawas pemilu benar-benar seperti macan ompong.  Terakhir yang mengejutkan penulis adalah statement yang mengatakan bahwa Presiden boleh berpihak. Lupakan Presiden    yang harus melekat pada dirinya bahwa ia harus memiliki jiwa kenegarawanan.  bahwa ia bukan lagi milik golongan, tetapi milik seluruh masyarakat.  Ada toleransi yang diberikan dalam Demokrasi Indonesia yaitu Presiden boleh terlibat berikan dukungan, namun ia harus mengambil cuti terlebih dahulu. Anehnya ketentuan harus cuti Kepala Daerah ketika masa kampanye berikan dukungan, seolah dapat perlakuan eksklusive bagi Presiden. Berbagai justifikasi pun dikemukakan untuk counter  persoalan jiwa kenegrawanan ini,

Penutup.  Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pengarang lagu, izinkan penulis mensitir dan memodefikasi beberapa bait  lagu gugur bunga karya almarhum Ismail Marzuki. Sepertinya nuansa kesedihan masih mengena dengan kondisi kontemporer bangsa Indonesia.  Pada bait : Betapa hatiku takkan pilu telah gugur pahlawanku, diubah menjadi betapa hatiku takkan pilu,  telah gugur demokrasi Negara ku. Syair lagu yang sedih diaransemen oleh maestro almarhum Ismail Marzuki ini masih cocok dan relevan dengan kondisi gugurnya demokrasi Indonesia.  Satu lagi lagu yang cocok, yaitu lagu Lestari alamku karya Gombloh, sepertinya bukan lagi Lestari alamku, lestari desaku, tapi berubah menjadi Lestari dinastiku.

Penulis: Navarin Karim
Editor: Arya Abisatya