Oleh : Navarin Karim
Secara umum dikemukakan bahwa jiwa kenegarawanan dimaknai seseorang yang lebih mengedepankan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi dan golongan. Suatu keniscayaan yang harus dihayati (internalized) oleh pejabat politik. Salah satu representasi negarawan yang mengamalkan jiwa kenegarawan adalah Mahatma Gandhi. Ia adalah pemimpin gerakan kemerdekaan yang menginsipirasi banyak gerakan di seluruh dunia. Salah satu prinsip utama yang dipegang Gandhi adalah Ahimsa, yang artinya “non kekerasan” atau “tidak melakukan kekerasan.
Dapat dilihat di Youtube dalam film Gandhi. Hal yang sangat menyentuh perasaan manakala awalnya ia dicegat masuk ke gedung PBB karena berpakaian baju Ihram dan gunakan sandal. Dengan menunjukkan undangan, akhirnya diperbolehkan masuk. Tamu undangan lainnya menggunakan pakaian elegance yaitu jas (bagi pria) dan blazer (bagi wanita). Tamu yang berada disampingnya berkata : tidak malukah Tuan berpakaian demikian? Dengan lantang dan spontan dijawab Gandhi : saya belum pantas berpakaian demikian seperti tuan-tuan, karena rakyat saya masih miskin. Bandingkan dengan pejabat politik kita, setiap tampil selalu menggunakan pakaian baru, karena ada anggarannya. Belum lagi fasilitas lain yang diberikan seperti mobil Pajero, Alphard, gaji yang relatif besar. Sudah sejahterakah rakyatnya. Bukankah gaji dan uang biaya pengadaan fasilitas berasal dari uang rakyat? Seyogyanya jiwa kenegarawan ini merupakan keniscayaan yang harus dimiliki oleh pejabat politik.
Turunan jiwa kenegarawanan.
Jika kenegarawanan bukan hanya harus dimiliki oleh pejabat politik dan atau berkaitan dengan negara. Dari berbagai profesi pekerjaan dapat saja kita mengidentifikasikan apakah sesorang memiliki jiwa kenegarawanan atau tidak. Kalau mau kita sederhanakan, substansi adalah mengedepankan kepentingan umum dibandingkan kepntingan pribadi. Masih ingat kejadian Tsunami 2004 di Aceh? Seorang dokter yang sibuk melayani pasien korban gempa dan Tsunami, sementara rumah dan anaknya terseret air bah Tsunami. Sang dokter layak mendapat predikat sebagai seorang yang berjiwa kenegarawan. Contoh lain Penyelamat lingkungan yang memperoleh penghargaan kalpataru, diberi penghargaan oleh negara diundang ke istana negara serta mengikuti upacara hari kemerdekaan.
Penghargaan tersebut sebenarnya, karena lebih mementingkan keselamatan dan menjaga keseimbangan lingkungan. Waktu yang hilang (lost time) untuk mencari rezeki pribadi dan keluarga diabaikan begitu saja. Menjadi ketua RT dengan imbalan dari pemerintah ala kadarnya dapat pula dikatakan sebagai profesi yang berjiwa kenegarawanan. Dengan kata lain Profesi-profesi luhur yang tidak komersil, bolehlah dianggap mereka yang mempunyai jiwa kenegarawanan. Profesi luhur yang komersil seperti oknum pengacara yang komersil dengan jargon maju tak gentar membela yang bayar tidak bisa kita katakan lagi profesi luhur, apalagi jiwa kenegarawanan. Padahal ini termasuk profesi luhur Bagaimana dengan profesi dokter? Ini agak mendua, ketika bertugas praktek melayani pasien BPJS, dapat kita katakan sebagai profesi luhur. Namun jika sore atau malam hari buka praktek . pribadi. Inilah sudah komersil sifatnya. Tidak ada tawar menawar. Ada uang, anda dilayani, tidak ada uang berobat ke praktek BPJS. Bagaimana dengan profesi Tentera? Tentera yang berperang membela tanah air, perlu kita tempatkan sebagai orang yang menjiwai jiwa kenegarawanan. Bayangkan saja nyawapun jadi taruhannya.
Bagaimana dengan profesi guru? Guru dan dosen kontemporer juga bersifat mendua seperti dokter juga sudah banyak ditemukan. Namun ada hal yang menarik penulis temukan pada saat rapat penentuan ketua program studi (kaprodi) Ilmu Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Jambi. Ketua jurusan yang memimpin rapat sangat demokratis : beliau ajukan semua yang memenuhi syarat. Ada lima orang yang diajukan. Hal ini tidak pernah dilakukan sebelumnya, yang kira-kira dianggap tidak sepaham biasanya disembuyikan. Akhirnya mengerucut menjadi tiga orang. Satu calon sedang menjabat sebagai ketua Jurusan dan satu lagi akan pensiun 4 bulan ke depan. Kedua yang dicalonkan ini secara rational alasannya dapat diterima. Tinggal tiga orang, Dua orang lagi keberatan dengan alasannya cenderung merasa berat dengan tugas tersebut.
Tinggal satu orang yang sebelumnya menggantikan ketua Prodi yang melanjutkan kuliah S3. Beliau baru menjabat satu tahun sebagai pengganti. Ia sebenarnya merasa berat dengan tugas tersebut, ditambah lagi ia merasa tidak bisa maksimal dengan tugas tersebut. Makanya ia merasa keberatan untuk dicalonkan lagi. Singkat cerita tidak ada lagi yang bersedia dicalonkan. Ditengah kebingungan mencari calon kaprodi, akhirnya secara spontan ia kemukakan dengan pertimbangan prodi akan menghadapi reakrediitasi beberapa bulan lagi dan tidak ada lagi yang bersedia dan memenuhi syarat, selanjutnya ia mengatakan : lanjut menjadi kaprodi lagi. Saya lantas mengatakan beliau adalah “orang yang punya jiwa kenegarawanan”, lebih mementingkan kepentingan umum organisasi yang lebih krusial ketimbang kepentingan pribadi. Dedikasi yang tulus dan tanpa pamrih di tengah kehidupan materialisme dan mementingkan pribadi yang semakin menggejala.