SEJARAH mencatat bahwa Hadratusyaikh K.H. Hasyim Asy’ari, muassis atau pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di Tanah Hijaz. Ulama besar asal Sumatera Barat itu merupakan orang non-Arab pertama yang menjadi Imam dan Khatib di Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah.
Syekh Ahmad Khatib lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 6 Dzulhijjah 1276 H/26 Mei 1860 M. Setelah tamat dari Kweekschool (Sekolah Raja) di Bukittinggi, pada usia 11 tahun, ia diajak oleh ayahnya (Abdullatif Khatib Nagari) untuk menunaikan ibadah haji dan lanjut bermukim di kota suci Makkah guna mempelajari ilmu agama.
Prof. Dr. Hamka dalam buku Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya (1981) menyebut Ahmad Khatib sebagai “Syaikhul-Masyaikh”, guru dari sekalian guru-guru kita. Orientalis dan penasihat agama pemerintah kolonial Hindia Belanda Snouck Hurgronje menyebut, “Syekh Ahmad Khatib seorang putra Sumatera Barat yang cerdas dan yang bermental fakultas.”
Syekh Ahmad Khatib adalah pejuang agama yang anti-penjajahan sebagaimana dikemukakan oleh Haji Agus Salim dalam suatu seminar di Cornel University Amerika Serika (4 Maret 1953). Kesadaran anti-penjajahan ditanamkan oleh Syekh Ahmad Khatib kepada murid-muridnya dari Indonesia dan Semenanjung Melayu. Ia mempunyai pendirian bahwa berperang melawan penjajah adalah jihad di jalan Allah.
Gerakan perlawanan ulama terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda karena motivasi ruh keagamaan sebagian dipelopori oleh murid-murid Syekh Ahmad Khatib. Setelah mereka pulang ke Tanah Air banyak yang tampil sebagai pejuang kemerdekaan secara langsung ataupun tidak langsung. Kendati bermukim di Tanah Hijaz, namun hubungan Syekh Ahmad Khatib dengan Minangkabau dan Nusantara tetap terjalin melalui jemaah haji atau santri yang datang belajar ke Makkah.
M. Zein Hassan diplomat yang berperan memperjuangkan pengakuan kemerdekaan RI di negara-negara Arab dalam tulisannya di Majalah Panji Masyarakat Nomor 409 Zulhijjah 1403/Oktober 1983 menjelaskan, dengan tersiarnya buku-buku Syekh Ahmad Khatib yang menentang penjajahan di Indonesia, dapat kiranya dikatakan bahwa beliau juga berperan dalam kemerdekaan politik di tanah air kita. Apalagi jika diingat bahwa beliaulah yang mempengaruhi Haji Agus Salim untuk meninggalkan kepegawaian sebagai konsul Belanda di Makkah hingga menjadi seorang pemimpin nasional yang ikut bergerak dari semula sampai kemerdekaan Indonesia, sesudah mendapat pendidikan mendalam dari Syekh Ahmad Khatib dalam bidang agama Islam dan bahasa Arab.
Sewaktu berdirinya partai politik Sarekat Islam tahun 1912 sebagai organisasi politik pertama di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda cukup gelisah. Belanda mengajak ulama yang mau bekerja sama untuk membendung pengaruh Sarekat Islam di kalangan rakyat jelata. Saat itu terbitlah buku berjudul Kafful Awwam ‘An Syarikatil Islam (Melarang Rakyat Umum Memasuki Sarekat Islam). Buku itu tersebar luas di Indonesia dan Makkah, sampai ke tangan Syekh Ahmad Khatib di Makkah. Ia mengangkat pena menulis dan menerbitkan buku sanggahan dengan judul Hassul Awwam ‘Alad Dhukhul Fi Syarikatil Islam (Mengajak Rakyat Umum Memasuki Serekat Islam).
Syekh Ahmad Khatib merupakan ulama yang matang dengan tradisi literasi di zamannya. Ia terbilang tangguh dalam berpolemik dan melakukan kontra-narasi, mengadu argumentasi dengan argumentasi. Ia menyanggah isi suatu buku dengan menulis buku sanggahan. Kecerdasan Syekh Ahmad Khatib dalam memahami ilmu pengetahuan dengan mudah dan pandai mengajarkan kepada murid-muridnya, merupakan salah satu berkah setelah ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw.
Kompetensi keilmuwan Syekh Ahmad Khatib yang menonjol adalah dalam bidang Ilmu Fiqih (yurisprudensi Islam), Ilmu Falak, Ilmu Hisab, dan Ilmu Aljabar. Sedangkan ilmu geografi dan astronomi dipelajarinya secara autodidak. Mazhab fiqih Syekh Ahmad Khatib adalah Mazhab Syafii yang kebetulan menjadi rujukan mayoritas muslim Indonesia. Pandangan kritisnya mengenai hukum pembagian harta warisan menurut adat di Minangkabau menjadi isu klasik yang selalu menarik sebagai bahan kajian sosiologi agama.
Sejumlah ulama dan sultan di Nusantara dan Semenanjung Melayu meminta fatwa-fatwa keagamaan kepada Syekh Ahmad Khatib melalui surat-menyurat. Ia mendorong munculnya gerakan tajdid atau pembaharuan pemahaman Islam. Murid-murid Syekh Ahmad Khatib dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Semenanjung Melayu, setelah selesai belajar di Makkah, pulang ke tanah air menjadi ulama dan mufti. Para umumnya murid-murid Syekh Ahmad Khatib menjadi ulama pelopor perjuangan dalam menegakkan agama dan membela tanah air. Dalam novel biografi karya Khairul Jasmi, ia dijuluki sebagai “Guru Para Ulama Indonesia”.
Para ulama Minangkabau Sumatera Barat di penghujung abad ke-19 hingga permulaan abad ke-20 yang berguru kepada Syekh Ahmad Khatib di Makkah, antara lain: Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah Prof. Dr. Hamka), Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Daud Rasjidi, Syekh Dr. H. Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Muhammad Djamil Djaho, Syekh Abdul Latif, Syekh Mustafa Padang Japang, Syekh Khatib Ali, dan Syekh Abbas Qadhi. Mereka dapat disebut sebagai bintang-bintang zaman di masanya.
Syekh Ahmad Khatib memperoleh gelar dan tanda jasa Bey Tunis dari Turki Ottoman di Istanbul. Gelar dan tanda jasa ini merupakan pengakuan dan penghargaan kepada seseorang yang berjasa dalam ilmu pengetahuan dan bisa disamakan dengan Doctor Honoris Causa di masa kini.
Syekh Ahmad Khatib banyak menulis kitab atau buku-buku agama mengenai Fiqih, Ushul Fiqih, Tasauf dan sebagainya berbahasa Melayu dan Arab. Menurut Zainal Abidin Ahmad, Syekh Ahmad Khatib menulis 49 buku berkaitan tentang berbagai masalah agama dan kemasyarakatan, sebagian karyanya masih berbentuk manuskrip. Karya tulisnya tidak saja beredar di Arab Saudi dan Indonesia, tapi juga di negara Timur Tengah lainnya. Selain di Makkah, buku-bukunya diterbitkan di Mesir.
Spirit pemikiran Syekh Ahmad Khatib menganjurkan kemajuan beragama, pembaruan paham keagamaan, dan perjuangan menentang penjajahan. Salah satu segi yang menarik dari metode pendidikan Syekh Ahmad Khatib ialah menanamkan kemerdekaan berpikir dalam garis lurus akidah islamiyah berdasar Al-Quran dan As-Sunnah. Sebuah teori menyatakan, guru yang hebat menghasilkan murid-murid berbeda dengan dirinya, Syekh Ahmad Khatib adalah contohnya.
Kalau ditinjau lebih jauh dalam jagat pemikiran dunia Islam, empat serangkai imam mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali, mereka adalah guru dan murid. Imam Malik murid dari Imam Hanafi, Imam Syafii murid dari Imam Malik, dan Imam Hambali murid dari Imam Syafii. Para imam mazhab mengembangkan corak pemikiran fiqih (yurisprudensi hukum islam) dan ijtihad yang mandiri dalam sejumlah masalah hukum terapan.
Ulama-ulama Indonesia di masa lampau belajar dari banyak guru dan bersahabat satu sama lain, walau dalam masalah fiqih kadang tidak satu pendapat. Suatu hal yang mengesankan, murid-murid Syekh Ahmad Khatib memiliki kemandirian dalam berpikir dengan tetap mengikuti metode berpikir gurunya.
Sekitar empat bulan sebelum meninggal Syekh Ahmad Khatib menulis manuskrip autobiografi berjudul "Al-Qaulu at-Tahief fii Tarjamati Tarikh Hayaati as-Syaikh Ahmad Khatib Abdul Latief al-Minangkabawiy al-Jawiy." Kata “Al-Jawi” di akhir namanya, maksudnya ialah orang Indonesia. Waktu itu pengertian Jawi di Timur Tengah adalah Indonesia. Manuskrip autobiografi Syekh Ahmad Khatib pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Otobiografi Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam (2016).
Dalam buku tersebut Syekh Ahmad Khatib mengenang guru-gurunya dan menuliskan nasihat kepada anak-anaknya, agar ber-tafaqquh (mendalami) ilmu-ilmu agama serta nasihat untuk kaum muslimin. Mengenai latar belakang penulisan bukunya, ia mengemukakan, “Murid-muridku memintaku untuk menulis sejarah hidupku dan menjelaskan karya tulisku, maka aku tulislah kitab ini untuk menjelaskan hal itu agar mereka mengenal keadaanku, termasuk generasi sesudahku yang ingin mengetahui sejarah hidupku, terutama bagi kawan-kawan dari Indonesia dan lainnya.”
Sebuah ungkapan dalam autobiografinya, di mana ia menyebut dirinya pelayan para pelajar di Masjidil Haram, “Sesungguhnya kehidupan manusia adalah sejarah hidupnya dan setelah meninggal nanti, dia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia. Maka beruntunglah orang-orang yang telah menghiasi hidupnya dengan hiasan yang baik dan mengisi umurnya dengan amal shaleh.”
Salah seorang putranya, Syekh Abdul Hamid Al-Khatib, Duta Besar Arab Saudi di Pakistan dan Bangladesh, menulis biografi Syekh Ahmad Khatib, diterbitkan di Damaskus tahun 1958.
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi wafat di Makkah Al-Mukarramah bulan Jumadil Awal 1334 H bertepatan dengan 13 Maret 1916 M. Ia dimakamkan di Pekuburan Ma’la, sebuah kompleks pemakaman di utara Masjidil Haram.
Pada bulan Juli 2024 lalu saya mendapat kiriman foto-foto dokumentasi dari Hadi Nur Ramadhan, pendiri Rumah Sejarah Indonesia, yang sedang melaksanakan ibadah umrah dan napak-tilas jejak perjalanan ulama Minangkabau dan Indonesia yang meninggal di Makkah dan dimakamkan di kota suci itu. Saya dikirimi data ulama Indonesia yang wafat di Makkah dan dikuburkan di Jannatul Ma’la ialah Syekh Ahmad Khatib Sambasi (wafat 1875), Syekh Nawawi Al-Bantani (1897), Syekh Junaid Betawi (akhir abad 19 M), Syekh Abdul Haq Banten (1903), Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi (1916), Syekh Abdul Hamid Kudus (1916), Syekh Mahfuzh Tremas (1920), Syekh Mukhtarudin Bogor (1930), Syekh Umar Sumbawa (1930-an), Syekh Abdul Qadir Mandailing (1956), Syekh Yasin Al-Padangi (1990) dan K.H. Maimoen Zubair (2019).
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah tokoh legendaris yang diabadikan sebagai nama Masjid Raya Sumatera Barat di Padang, Ibukota Provinsi Sumatera Barat. Masjid termegah itu kini menjadi landmark Sumatera Barat karena arsitektur bangunannya yang khas dan melambangkan harmoni agama dan budaya: Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah.
M. Fuad Nasar, mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang