Hanif

Mukhanif Yasin Yusuf, Difabel Rungu Sukses Raih Gelar Master Ilmu Sastra

Mukhanif Yasin Yusuf adalah founder Difapedia. Hanif, panggilannya harus merelakan kedua telinganya tidak bisa lagi mendengar riuhnya dunia, ketika dia divonis dokter kehilangan indra pendengarnya saat usianya masih 10 tahun. Dunianya hancur, sempat terpuruk, namun Hanif, panggilannya, berhasil melenting jauh ke atas, setelah keadaan menariknya jauh ke bawah. Difapedia jadi salah satu “hub” untuk teman-teman difabel di daerahnya.

Dari Kota Kecil

Mukhanif Yasin Yusuf adalah seorang pemuda kelahiran Purbalingga, sebuah kota kecil di Jawa tengah. Masa kecil hingga remaja Hanif, panggilan akrabnya, dihabiskan di Karanganyar, salah satu kecamatan di utara Purbalingga. Seperti halnya anak-anak desa pada umumnya, Hanif kecil selalu senang untuk bermain, namun hari itu berbeda. Tanpa sepengetahuan orang tuanya, ia bermain di sungai kecil dekat desanya bersama teman-temannya. Saat sedang berenang, telinga Hanif kemasukan air, dan terasa ada dengungan di telinga. Hanif yang saat itu masih berusia 10 tahun tak berani untuk menceritakan ke orang tuanya. Sedikit demi sedikit dengungan itu menjadikan pendengarannya makin berkurang. Setelah 2 minggu, Hanif sama sekali tak mendengar apapun. Barulah dia memberanikan diri untuk jujur pada orang tuanya. Mereka langsung membawanya ke rumah sakit terdekat, namun sudah terlambat. Pada hari itu Hanif kehilangan salah satu indranya dan membuat hidupnya sunyi dan dingin.

Hanif saat itu berada di kelas 6 SD dan sedang mempersiapkan ujian kelulusannya. Hanif merasa hancur, dia tidak mau bersekolah. Sedih, malu, takut, bercampur jadi satu. Butuh 2 tahun untuknya beradaptasi dan mau kembali ke sekolah lagi.

“Waktu itu karena dipaksa Bapak Ibu saya buat lanjut sekolah lagi. Kata Bapak Ibuku, “kalau kamu tidak sekolah nanti mau jadi apa?” Sampai akhirnya saya menyadari betapa pentingnya arti pendidikan bagi kita. Kalau saya nggak lanjut sekolah, saya nggak bakal bisa sampai sejauh ini,” kenang Hanif.

Hanif lebih suka menyebut dirinya difabel rungu dibandingkan dengan tunarungu.

Perjuangan Hanif

Tak hanya sekadar menyelesaikan pendidikannya sampai SMA, Hanif juga merupakan salah satu murid dengan prestasi cemerlang. Hobi membacanya yang sudah Hanif gemari sejak di bangku SMP membuatnya mencoba untuk membuat tulisan di SMA. Hingga tulisannya itu pernah dimuat buku antologi saat dia kelas 2 SMA. Hanif menjadi kecanduan membaca dan menulis. Waktu istirahat selalu ia habiskan berada di perpustakaan untuk membaca buku dari novel hingga majalah sastra.

Hanif awalnya tidak terfikir untuk bisa melanjutkan kuliah. Keluarganya bisa dibilang kurang mampu secara ekonomi. Hanif juga bisa SMA karena mendapat beasiswa full dari sekolahnya, sehingga dia bisa gratis menuntut ilmu. Namun berawal dari hobi menulis dan membacanya, keinginan Hanif untuk melanjutkan studi semakin besar. Jurusan sastra Indonesia menjadi incarannya.

Singkat cerita Hanif mendaftar dan lolos untuk berkuliah di jurusan Sastra Indonesia di UGM, Yogyakarta. Ayahnya merasa keberatan, “Bapak saya itu bilang, waktu itu kan saya masuk ke UGM, Bapak saya bilang, “lebih baik kamu berhenti kuliah saja, Bapak enggak sanggup.” Tapi saya jawab “Saya tidak butuh biaya dari rumah. Saya hanya butuh doa saja,” cerita Hanif.

Segala usaha Hanif lakukan agar bisa tetap berkuliah, seperti bersepeda menjual majalah keliling sembari ia mendaftar beberapa beasiswa. Pada semester kedua Hanif bisa bernafas lega. Hanif berhasil mendapatkan beasiswa Bidikmisi dari pemerintah.

Hanif masih menjadi satu-satunya difabel hingga dia berkuliah di jurusannya. Ketika ditanya bagaimana caranya bisa tetap mengikuti jalannya perkuliahan, Hanif sedikit membagi ceritanya.

“Sebenarnya kalau misalnya kita ini kuliah, materi intinya kan udah ada di powerpoint-nya, saya sudah bisa paham. Kalau perubahan, saya bisa tanya ke dosen, terus nanti dosennya ini kan bisa menjawab langsung terus teman sebelah saya mencatatnya (kemudian Hanif melihat catatan teman sebelahnya). Atau kadang-kadang ada dosen bahkan sudah Profesor di UGM menulis jawabannya di papan tulis. Kalau ada materi yang belum saya pahami, saya mencari bahan bacaan di perpus. Jadi orang-orang seperti saya ini harus ada kemauan inisiatif untuk sering-sering baca,” jelasnya. (***)

 

 

Editor: Arya Abisatya
Sumber: https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/