JAMBI, bungopos.com - Islam mewajibkan para suami untuk menafkahi istrinya baik nafkah lahiriah maupun batiniah. Adapun nafkah lahiriah, maka suami diwajibkan memberi nafkah berupa biaya untuk pengurusan rumah tangga, pakaian yang digunakan istri, tempat tinggal dan lain-lain.
Mengenai hal ini, Ibnu Qasim al-Ghazi dalam Fathul Qarib menjelaskan:
ونفقة الزوجة الممكنة من نفسها واجبة على الزوج
Artinya, “Nafkah untuk seorang istri yang telah memasrahkan dirinya hukumnya wajib bagi seorang suami.” (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], jilid I, hal. 261).
esimpulan para ahli fikih terhadap kewajiban suami untuk memberikan nafkah lahiriah kepada istri didasarkan hadits yang digunakan dalam al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, ketika menjelaskan kewajiban nafkah seorang suami, haditsnya adalah:
اتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya, “Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak mereka yang harus kalian penuhi adalah memberi rezeki dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik.” (An-Nawawi, al-Majmu’ syarh al-Muhazdzab, jilid XVIII, hal. 266).Akan tetapi, dalam menjalani bahtera kehidupan, adakalanya suami mendapatkan kondisi lancar dalam mencari rejeki dan adakalanya kondisi tidak mendukung. Terlebih lagi melihat kondisi saat ini, di mana mencari pekerjaan adalah satu kesulitan sendiri. Jika sang suami sudah berusaha untuk mencari rejeki namun belum dapat juga, sebenarnya dalam syara’, si suami tetap diwajibkan untuk memberikan nafkah minimal yang dapat mencukupkan pangan dan pakaian serta tempat tinggal istri dengan standar paling minimal orang susah di daerah tersebut (nafaqah al-mu’sir). (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, jilid I halaman 263).
Dalam kondisi sulit, di antara solusinya adalah istri dapat menggunakan uangnya sendiri dahulu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, atau meminjam kepada tetangga atau kerabat dan kenalan. Kemudian tanggungan tersebut dalam syara’ bisa dilimpahkan kepada suami sebagai kepala keluarga. Ibnu Qasim al-Ghazi berpendapat:Ibnu Qasim al-Ghazi berpendapat:
وإن أعسر بنفقتها أي المستقبلة فلها الصبر على إعساره وتنفق على نفسها من مالها أو تقترض ويصير ما أنفقته دينا عليه
Artinya, “Jika suami tidak mampu memberi nafkah kepada istri, maksudnya nafkah di hari esok, maka istri hendaknya bersabar atas ketidakmampuan suami dan menafkahi dirinya dari hartanya sendiri, atau berhutang, sedangkan status harta tersebut menjadi hutang bagi si suami.” (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, jilid I halaman 263).
Terkait harta istri yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, yang statusnya menjadi hutang bagi suami, pun apabila istri ridha dan merelakan harta tersebut untuk digunakan pada kepentingan rumah tangga, maka hilang kewajiban suami untuk menggantinya. Hal ini dikaitkan dengan hubungan suami istri bagi kebanyakan orang bukanlah hubungan transaksional dan hitung-hitungan, sehingga keduanya saling membantu, tolong menolong dan merelakan tenaga, waktu dan hartanya demi kelanggengan rumah tangga.Kondisi ini berlaku bagi suami yang memang sudah berusaha untuk mencari nafkah bagi keluarganya, sehingga tidak ada unsur ingin menelantarkan istri dan ana-anaknya. Sebab, apabila suami berniat demikian, maka dirinya berdosa. Rasulullah saw pernah bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
Artinya, “Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang ia tanggung.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban).
Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Rasulullah saw yang serupa:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
Artinya, “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa orang-orang yang menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya.” (HR Muslim).
Apabila melihat tinjauan fikih, ada satu kondisi di mana jika si suami bahkan tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya, istri berhak untuk melakukan fasakh nikah atau pembatalan perkawinan sehingga status suami istri di antara mereka tidak berlanjut sejak dijatuhkan fasakh nikah oleh hakim. Terkait hal ini Imam an-Nawawi berkata:
إذا أعسر الزوج بنفقة المعسر فلها أن تفسخ النكاح
Artinya, “Apabila suami kesulitan memberi nafkah sesuai standar mu’sir (orang susah/miskin dengan kewajiban memberi 1.6 kilogram makanan pokok perhari) maka istri boleh melakukan fasakh nikah.” (An-Nawawi, al-Majmu’, jilid XVIII, hal. 267).
Kemudian, apabila si suami tidak mampu memberi nafkah karena tidak dapat bekerja disebabkan sakit, maka si istri harus melihat kondisi terlebih dahulu. Apabila sakitnya dapat sembuh sehari dua hari, maka tidak berhak fasakh, namun apabila sakitnya tidak dapat disembuhkan, istri berhak fasakh nikah. (An-Nawawi, al-Majmu’, jilid XVIII, hal. 267).
Mengutip al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab jilid XVIII, hal. 269:
فإنه إذا كان الزوج موسرا فصار معسرا فإنه ينفق على زوجته نفقة المعسر، ولا يثبت لها الخيار في فسخ النكاح، لان بدنها يقوم بنفقة المعسر وان أعسر بنفقة المعسر كانت بالخيار بين أن تصبر وبين أن تفسخ النكاح
Artinya, “Jika suami awalnya berkecukupan kemudian berubah menjadi orang susah, maka ia wajib memberi nafkah kepada istrinya dengan standar nafkah mu’sir, dan istrinya tidak mempunyai pilihan untuk membatalkan perkawinan, karena tubuhnya masih bisa hidup dengan standar nafkah tersebut. Jika suami [bahkan] kesulitan memberi nafkah sesuai standar nafkah mu’sir, maka istri mempunyai pilihan antara bersabar atau membatalkan pernikahan. "
Dalam konteks Indonesia, ada yang dinamakan sighat ta’liq talak, yaitu: Tidak meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut, Senantiasa memberi nafkah wajib kepada istri, Tidak membiarkan atau menelantarkan istri selama lebih dari 6 bulan, serta, Tidak menyakiti jasmani/fisik istri.
Di luar penjelasan dalam tinjauan fikih tentang fasakh nikah ini, penanya harus mengingat kembali bahwa hubungan pernikahan adalah hubungan kolaboratif antara suami dan istri. Tidak selalu problematika dalam pernikahan jalan keluarnya adalah fasakh nikah atau talak, kecuali jika segala cara sudah ditempuh namun tidak lagi menemukan jalan keluar. Perlu ada komunikasi efektif antara penanya dengan suami mengenai solusinya. Keduanya harus saling berusaha untuk mempertahankan bahtera rumah tangga, juga jangan lupa berdoa kepada Allah supaya rejekinya selalu dilancarkan. Wallahu a’lam. (***)