ILUSTRASI : Pemilihan umum

Politik Dinasti Atau Dinasti Politik Rusak Tatanan Demokrasi, Akademisi Ajak Masyarakat Jadi Pemilih Cerdas

JAKARTA, bungopos.com - Praktik dinasti politik dinasti memang tidak dilarang. Akan tetapi setidaknya dapat dicegah dan dihambat agar tidak merajalela. Dan ini bisa merusak tatanan demokrasi. Hal ini disampaikan oleh Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Lusi Andriyani, M.Si., seperti yang direlease oleh https://umj.ac.id/. 

Dirinya menyampaikan, pencegahan politik dinasti bisa dilakukan dengan melakukan pendidikan politik dan membangun budaya rasional kepada masyarakat. Para orang terdidik katanya, harus hadir membangun budaya rasional dalam memilih.

BACA JUGA: AMIN Menang, Gus Imin Jamin Budaya jadi Kekuatan Ekonomi Kreatif

''Politik dinasti ataupun dinasti politik sudah berakar, mencabut akar secara langsung tidak mungkin, tetapi mengintervensi ke ruang itu supaya kita bisa ikut andil disana dan mewarnai sehingga bisa dicegah,” ungkap Lusi.

Lebih jauh dirinya mengatakan, ada dua konteks berbeda yang harus dipahami ketika membahas isu tersebut, yaitu politik dinasti atau dinasti politik. Politik dinasti jelasnya, adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait hubungan keluarga, misalnya ayahnya mewarisi kekuasannya kepada anaknya. Sistem seperti ini lazim digunakan oleh negara yang menganut sebuah sistem monarki.

BACA JUGA: Koalisi Perubahan Untuk Persatuan Optimis AMIN Menang Satu Putaran, Ini Alasannya

Sedangkan dinasti politik, yang dengan sengaja dikonstruksi bahwa kekuasaan hanya boleh dikuasai oleh satu keluarga saja. Lusi menegaskan dinasti politik memiliki dampak negatif bagi demokrasi tanah Air. Karena politik semacam ini dengan sengaja mengutamakan kepentingan kelompoknya.

“Dari kedua hal itu (politik dinasti dan dinasti politik), memang yang lebih terasa dampak negatifnya adalah dinasti politik. Karena ada upaya dengan sengaja merekonstruksi kondisi keluarganya untuk ditempatkan ke dalam kekuasaan tertentu, untuk kepentingan kelompoknya,” tutur Lusi.

BACA JUGA: Diantar Ratusan Ribu Pendukung, Pasangan AMIN Resmi Daftar KPU, Ini Deretan Kiyal Pendukung AMIN

Kendati kedua hak ini tidak memiliki perbedaan yang mencolok, sama-sama melibatkan keluarga, kerabat, ataupun saudara, namun hal yang perlu diperhatikan adalah soal kompetensi bakal calonnya sendiri.

“Dua konsep ini memang tidak bisa dilepaskan begitu saja antara politik dinasti dan dinasti politik. Keduanya sama-sama melakukan regenerasi dan reproduksi. Regenerasi itu diperbolehkan, misal kita mempunyai anak yang kelak diarahkan ke kompetensi yang sama. Tetapi, kalau mereproduksi itu ada kesan memaksakan, ketika satu keluarga tidak memiliki kompetensi yang sesuai hanya untuk melanggengkan kekuasaan,” pungkas Lusi.

Menurutnya, kesan memaksa ini yang akhirnya membuat publik mengkritisi hal itu. Akan tetapi, Lusi juga menjelaskan bahwa kedua konsep tersebut sah-sah saja. Pelarangan terhadap seseorang untuk mencalonkan yang mempunyai hak untuk dipilih juga melanggar hak politik sehingga bertentangan dengan asas demokrasi.

BACA JUGA: Dzuriyah Krapyak Dukung Pasangan AMIN, Ini Deretan Kiyai Yang Hadir Pertemuan

“Dalam konteks ini, dinasti politik sah-sah saja, ketika seseorang mencoba memberikan ruang untuk keluarganya yang memiliki kompetensi. Catatan penting dari permasalahan tersebut yaitu satunya dipaksakan ketika tidak memiliki kompetensi untuk meneruskan atau melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu,” tegas Lusi.

Dosen UMJ yang juga pengamat politik lokal ini mengamini bahwa dinasti politik merupakan praktik yang tidak sehat bagi demokrasi. Karena memperkecil peluang orang-orang potensial non-dinasti duduk di kursi pemerintahan.

BACA JUGA: Pantun Budaya Melayu, Ini Dia Pantun Politik Pasangan Capres-Cawapres, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN)

“Kalau kita mau menyatakan dinasti politik ini negatif, memang iya. Di ruang demokrasi sesuatu kewajaran tanpa ada aturan main itu akan merusak. Kedua hal ini akan mempersempit ruang masyarakat umum yang memang mempunyai kompetensi di atas mereka untuk muncul sehingga tidak bisa bersaing. Ketika ini di create, entah itu potensial atau dipaksakan keduanya sama-sama dibentuk. Kalau sudah seperti itu akan ada upaya untuk harus jadi, mereka akan menggerakan semua kekuatannya, masyarakat umum akhirnya tidak ada ruang lagi,” ungkap Lusi.

BACA JUGA: Usai Pertemuan Sekjen PKB,PKS dan Nasdem, Pasangan Capres - Cawapres Amin Dipastikan Pendaftar Pertama di KPU

Dirinya juga menyampaikan, dinasti politik tidak bisa dilihat hanya sebatas hitam dan putih saja. Jika memang mempunyai kompetensi, lanjutnya, masyarakat juga tidak mempermasalahkan. Berbeda halnya jika tidak mempunyai kompetensi, lalu dipaksakan untuk melanggengkan kekuasaan golongannya itu yang tidak diinginkan. ''Hadir tidak masalah tapi jangan membangun dan merawat harus ada lagi penerus dari keluarganya lagi, itu menjadi problem,” tandasnya Lusi. (***)

Editor: Arya Abisatya
Sumber: https://umj.ac.id/