Jambekspres.co.id

Sebagai Agama Sempurna Islam Sudah Mengatur Tata Cara Pilpres, Ini Fiqh Siyasahnya

JAMBI, bungopos.com - Dalam literatur Suni ditemukan beberapa cara dalam mengangkat seorang pemimpin. Pertama, pengangkatan dengan cara memilih seorang yang dianggap memenuhi syarat sebagai calon pemimpin atau yang lebih dikenal dengan bay’at ahl hall wal ‘aqd. Kedua, pengangkatan dengan cara penunjukan dari pemimpin sebelumnya yang masih berkuasa kepada seorang yang dianggap memenuhi kualifikasi untuk menjadi pemimpin, atau biasa disebut dengan al-istikhlâf wa wilâyah al-‘ahd. Lalu yang ketiga,  pengangkatan dengan cara pemaksaan/kudeta atau dalam istilah fikih disebut al-qahr wa al-istilâ’. Hal ini disebutkan oleh  Al-Syarbînî al-Khatîb, dalam kitabnya berjudul Mughnî al-Muhtâj.

Ketiga sistem inilah yang kemudian menjadi acuan sekaligus merupakan cara yang lazim ditempuh dalam mengangkat seorang presiden. Tetapi, para ulama Suni sepakat bahwa pengangkatan seorang presiden dengan cara bay’at adalah merupakan cara yang juridis. Kendati demikian, dalam pandangan Ibn Hazm, pengangkatan seorang presiden lebih strategis dan lebih tepat dengan cara penunjukan yang dilakukan oleh presiden sebelumnya (wilâyah al-‘ahd) dengan syarat memang tidak ada satu pun yang keberatan akan hal tersebut. Namun bila hal tersebut terasa sulit dilakukan, Ibn Hazm mengatakan bisa saja dengan cara menunjuk beberapa orang yang dipercaya untuk nantinya dipilih menjadi presiden.

Tetapi dalam konteks fikih siyasah, cara yang paling ideal dalam pengangkatan presiden adalah dengan melalui orang-orang yang memang tidak diragukan kemampuan, kejujuran dan loyalitasnya terhadap semua hal yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Dari sini pula dapat dipahami bahwa dalam konteks demokrasi modern, pengangkatan seorang presiden yang dilakukan dengan cara pemilihan umum.

Konteks ini memang berbeda dengan sistem yang pernah dirumuskan oleh para ulama Islam klasik. Di mana mereka melihat bahwa sistem pengangkatan presiden akan lebih ideal bila diserahkan saja sepenuhnya kepada orang-orang yang memang tidak diragukan integritasnya, dalam bahasa fikih disebut ahl hall wal ‘aqd. Dan terkait dengan siapasiapa sesungguhnya ahl hall wa al-‘aqd, Muhammad Abû Zahrah mengatakan ahl hall wal ‘aqd dapat dilakukan dengan cara memilih orang-orang terbaik dari setiap daerah. Termasuk di dalamnya adalah para ulama, para ahli dan sarjana dari pelbagai latar belakang keilmuan, baik politik, ekonomi, maupun budaya.

Di sisi lain, Al-Mâwardî menjelaskan tiga syarat yang mesti oleh seorang ahl hall wa al-‘aqd. Pertama, al-‘adâlah al-Jâmi’ah lisyurûtihâ. Maksudnya adalah seseorang memiliki tutur kata yang baik, dapat dipercaya, selalu merasa cukup, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik, menghindarkan diri dari sesuatu yang meragukan, dapat dipercaya kejujurannya. Kedua,  il-‘Ilmu alladzî yatawasshal bihi ilâ ma’rifah man yastahiqqu al-Imâmah ‘alâ al-Syurûth al-Mu’tabarati fîh. Maksudnya adalah bahwa seorang harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang syarat-syarat yang mesti terpenuhi dalam diri seorang calon pemimpin. Ketiga, al-Ra’y wa al-hikmah al-muaddiyâni ilâ ikhtiyâr man huwa lil imâm aslahu, wabitadbîr al-mashâlih aqwam wa a’raf. Maksudnya adalah bahwa seorang yang memiliki kemampuan untuk tidak mencampuradukkan antara orang-orang yang mampu menjalankan roda kepemimpinan dengan orang yang tidak mampu. (***)

 

Editor: Arya Abisatya
Sumber: Tulisan Lukman Arake tentang Sistem Pengangkatan Presiden dalam Fikih Siyasah