DALAM literatur fikih, harta yang terbawa arus banjir lalu terdampar di tanah seseorang dikategorikan sebagai harta hilang atau telantar (māl ḍāyi‘). Artinya, harta tersebut belum lepas dari kepemilikan pemilik aslinya, meskipun keberadaannya sementara berada di tempat orang lain. Status hukum ini telah dijelaskan dan ditegaskan oleh para ulama. Salah satu penjelasan tersebut disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatihiri, yang menerangkan ketentuan harta telantar dan kewajiban orang yang menemukannya menurut syariat Islam.
ذَكَرَ الْعُلَمَاءُ فِي الْمَالِ الَّذِي يَحْمِلُهُ السَّيْلُ ثُمَّ يُلْقِيهِ بِأَرْضِ إِنْسَانٍ، قَالُوا: إِنَّهُ مَالٌ ضَائِعٌ
Artinya, “Para ulama menyebutkan tentang harta yang dibawa arus banjir lalu dihanyutkan dan terlempar ke tanah milik seseorang. Mereka mengatakan, harta tersebut termasuk harta yang telantar’.” (Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatihiri, Syarhul Yaqutin Nafis, [Lebanon: Darul Minhaj, 2011 M], halaman 506).
Harta yang telantar atau tidak diketahui pemiliknya bukan berarti boleh langsung dimiliki. Dalam pandangan Islam, harta semacam ini tetap terikat dengan hak pemilik aslinya, meskipun keberadaannya tidak diketahui. Karena itu, sikap yang benar bukanlah mengambilnya untuk dimiliki, melainkan menjaganya dengan aman sampai jelas siapa pemiliknya.
BACA JUGA: Lebaran Momen Berwisata Religi, Berikut Tiga Masjid Yang Pas Untuk Dikunjungi
Prinsip ini ditegaskan oleh Imam an-Damiri dalam kitab an-Najmul Wahhaj, jika seseorang tiba-tiba mendapatkan barang, misalnya pakaian yang terbawa angin, kantong yang dilempar oleh orang yang melarikan diri, atau barang titipan dari orang yang telah meninggal dunia sementara pemiliknya tidak diketahui, maka barang tersebut dihukumi sebagai harta hilang.
Statusnya jelas: wajib dijaga dan tidak boleh dimiliki. Artinya, Islam sangat menjaga hak kepemilikan dan tidak membenarkan penguasaan harta orang lain hanya karena pemiliknya belum diketahui. Simak penjelasan Imam an-Damiri dalam kitab an-Najmul Wahhaj:
إِذَا أَلْقَتِ الرِّيحُ ثَوْبًا فِي حِجْرِهِ، أَوْ أَلْقَى إِلَيْهِ هَارِبٌ كِيسًا وَلَمْ يَعْرِفْ مَنْ هُوَ، أَوْ مَاتَ مُوَرِّثُهُ عَنْ وَدَائِعَ وَهُوَ لَا يَعْرِفُ مُلَّاكَهَا، فَهُوَ ضَائِعٌ يُحْفَظُ وَلَا يُتَمَلَّكُ.
Artinya, “Jika angin melemparkan sebuah pakaian ke pangkuannya, atau seseorang yang melarikan diri melemparkan kepadanya sebuah kantong sementara ia tidak mengetahui siapa orang itu, atau orang yang mewarisinya meninggal dunia dengan meninggalkan barang titipan dan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya. Maka barang tersebut termasuk harta yang hilang. Barang itu wajib dijaga dan tidak boleh dimiliki.” (ad-Damiri, an-Najmul Wahhaj, [Jeddah, Darul Minhaj: 2004], jilid VI, halaman 8)
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa barang yang hanyut akibat banjir tetap menjadi milik pemilik asalnya. Barang tersebut tidak berubah status hanya karena terbawa arus atau berpindah tempat. Karena itu, orang yang menemukannya tidak berhak mengambil atau menguasainya, melainkan berkewajiban menjaganya agar tidak rusak atau hilang lebih jauh.
Jika pemilik barang tersebut diketahui, maka kewajiban berikutnya adalah mengembalikannya kepada pemiliknya. Dalam konteks ini, barang-barang logistik yang hanyut dari gudang supermarket akibat banjir tetap berstatus sebagai milik pemilik usaha tersebut. Barang-barang itu tidak boleh diambil atau dimanfaatkan oleh pihak lain.
Siapa pun yang menemukannya memiliki tanggung jawab untuk mengamankan dan mengembalikannya kepada pemiliknya. Ketentuan ini ditegaskan oleh Imam al-‘Imrani:
لَوْ أَطَارَتِ الرِّيحُ ثَوْبًا إِلَى بَيْتِهِ، وَعَرَفَ مَالِكَهُ، فَإِنَّ عَلَيْهِ رَدَّهُ إِلَيْهِ
Artinya, “Jika angin menerbangkan sebuah pakaian ke rumahnya dan ia mengetahui siapa pemiliknya, maka ia wajib mengembalikannya kepada pemilik tersebut.” (al-‘Imrani, al-Bayan, [Jeddah, Darul Minhaj: 2000], jilid VII, halaman 348) (***)