PALANGKA RAYA, bungopos.com — Syukur adalah istilah yang kerap menjadi pesan dalam kajian atau kegiatan lainnya. Lantas apa makna sebenarnya dari syukur? Hal ini dijelaskan Menteri Agama Nasaruddin Umar saat menyampaikan tausiah subuh di Masjid Raya Darussalam Palangka Raya, Jumat (7/11/2025).
Menurut Menag, makna syukur secara lebih mendalam, bukan sekadar ucapan atau bertambahnya harta, tetapi peningkatan kapasitas diri dan ketenangan hati. “Banyak orang lupa bersyukur, padahal syukur adalah ajaran utama dalam agama kita. Namun, sering kali kita keliru memahami syukur. Syukur berbeda dengan tamaddah (pujian yang hanya di lisan tanpa hati),” tutur Menag.
Menag menjelaskan, pujian yang tulus harus lahir dari keselarasan antara hati dan ucapan. “Kalau mulut kita memuji, tetapi hati tidak ikut, itu bukan tahmid. Jika pujian di mulut seimbang dengan hati, barulah itu tahmid,” jelasnya.
Menurut Menag, syukur memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari sekadar tahmid. “Syukur itu bukan hanya memuji Allah dengan hati yang dalam dan lisan yang jujur, tetapi juga mengekspresikannya melalui kebahagiaan atas nikmat yang kita miliki, serta berbagi kepada orang lain yang membutuhkan — sekecil apa pun yang kita punya,” ucap Menag.
Menag lalu mengutip firman Allah dalam Surah Ibrahim ayat 7: “La’in syakartum la’azīdannakum wa la’in kafartum inna ‘adzābī la syadīd.” (Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambahkan (nikmat) kepadamu).
Menag menekankan bahwa tambahan yang dimaksud bukan semata-mata rezeki materi, melainkan penguatan kapasitas diri. “Allah tidak mengatakan akan menambah harta, tapi la’azīdannakum — menambah kalian. Artinya, Allah memperluas kapasitas hati, pikiran, dan energi kita. Boleh jadi tahun ini rezeki berkurang, tapi hati kita lebih tenang, pikiran lebih lapang, dan jiwa lebih bahagia. Itulah peningkatan kapasitas diri yang sesungguhnya.”
Menag menambahkan, orang yang bersyukur tidak mudah marah, tersinggung, atau menyimpan dendam, karena hatinya telah dilapangkan oleh Allah.
“Dulu mungkin kita mudah kecewa atau tersinggung. Tapi saat hati penuh syukur, kritik pun kita terima dengan lapang dada. Jika benar, kita perbaiki diri; jika salah, kita maafkan. Tidak ada dendam yang bermalam, dan di sanalah letak nikmatnya hidup,” ungkap Menag.
Menag juga menjelaskan adanya tingkatan tertinggi dari syukur, yaitu syukrul syukur — bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur.
“Syukur adalah ketika kita bersyukur atas nikmat. Tapi syukrul syukur adalah ketika kita sadar bahwa bisa bersyukur itu sendiri adalah nikmat. Di situlah kebahagiaan sejati seorang hamba,” pungkas Menag. (***)