ILUSTRASI

Suami Berpenghasilan Tak Tetap, Istri Menggugat Cerai, Bolehkah?

JAMBI, bungopos.com – Cerai gugat merupakan suatu fenomena yang banyak terjadi. Faktor ekonomi salah satu penyebabnya. Dalam dirkursus fiqih, ulama Imam Asy-Syarbini juga menjelaskan secara rinci Batasan nafkah yang dapat dikatakan layak sesuai syariat:

 

قاَلَ النَّوَوِيِّ يَلْزَمُ الزَّوْجَ الْكَسْبُ لِلإِنْفَاقِ عَلَى الزَّوْجَةِ، وَهُوَ كَذَلِكَ كَمَا يَلْزَمُهُ لِنَفَقَةِ نَفْسِهِ وَأَنَّهُ لَوْ قَدَرَ عَلَى تَكَسُّبِ نَفَقَةِ الْمُوسِرِ لَزِمَهُ تَعَاطِيهِ، وَمَحَلُّهُ مَا إذَا كَانَ قَادِرًا عَلَى كَسْبٍ حَلالٍ. أَمَّا إذَا كَانَ الْكَسْبُ بِأَعْيَانٍ مُحَرَّمَةٍ كَبَيْعِ الْخَمْرِ أَوْ كَانَ الْفِعْلُ الْمُوَصِّلُ لِلْكَسْبِ مُحَرَّمًا كَكَسْبِ الْمُنَجِّمِ وَالْكَاهِنِ فَهُوَ كَالْعَدَمِ، (وَإِنْ خَالَفَ الْمَاوَرْدِيُّ وَالرُّويَانِيُّ فِي الْقِسْمِ الثَّانِي) وَإِنَّمَا يُفْسَخُ (لِلزَّوْجَةِ النِّكَاحُ) بِعَجْزِهِ (أَيْ الزَّوْج) عَنْ نَفَقَةِ مُعْسِرٍ حَاضِرَةٍ; لأَنَّ الضَّرَرَ يَتَحَقَّقُ بِذَلِكَ، فَلَوْ عَجَزَ عَنْ نَفَقَةِ مُوسِرٍ أَوْ مُتَوَسِّطٍ لَمْ يَنْفَسِخْ; لأَنَّ نَفَقَتَهُ الآنَ نَفَقَةُ مُعْسِرٍ فَلا يَصِيرُ الزَّائِدُ دَيْنًا عَلَيْهِ، بِخِلافِ الْمُوسِرِ أَوْ الْمُتَوَسِّطِ إذَا أَنْفَقَ مُدًّا فَإِنَّهَا لا تُفْسَخُ وَيَصِيرُ الْبَاقَّيْ دَيْنًا عَلَيْهِ

 

Artinya, “Imam an-Nawawi berkata: Wajib atas suami untuk bekerja (mencari nafkah) guna menafkahi istrinya, dan memang demikian hukumnya, sebagaimana ia juga wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Dan apabila suami mampu bekerja untuk memperoleh nafkah standar orang kaya, maka wajib baginya untuk melakukannya. Namun, hal ini berlaku jika ia mampu bekerja dalam pekerjaan yang halal. Adapun jika cara memperoleh penghasilan tersebut melibatkan sesuatu yang haram secara zat, seperti menjual khamr (minuman keras), atau perbuatan yang mengantarkan kepada penghasilan itu haram, seperti penghasilan seorang peramal atau dukun, maka penghasilan seperti itu dianggap tidak ada nilainya (seperti tidak mampu bekerja). (Meskipun al-Mawardi dan ar-Ruyani berbeda pendapat dalam bagian yang kedua ini.) Adapun mengenai pembatalan akad nikah (fasakh) diperbolehkan jika  suami tidak mampu memberikan nafkah minimal seorang yang tidak mampu (mu'sir) dan ia tinggal bersamanya (hadir), karena dalam kondisi itu kerugian (dharar) benar-benar nyata bagi istri. Namun jika suami tidak mampu memberikan nafkah standar orang kaya atau menengah, maka tidak dapat dibatalkan. Berbeda halnya jika yang memberi nafkah adalah seorang suami kaya atau menengah namun hanya memberikan sedikit (seperti satu mudd saja), maka akad nikah tidak dibatalkan, namun kekurangan dari nafkah tersebut tetap menjadi utang atasnya.” (Al-Khathib Asy-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, t.t.], jilid V, halaman 178).

Berdasarkan penjelasan para di atas, dapat disimpulkan bahwa selama suami masih giat berusaha memenuhi kebutuhan keluarga melalui pekerjaan yang halal, meskipun di sektor informal, maka ia tetap dinilai menjalankan kewajiban nafkahnya. Islam tidak mensyaratkan nafkah harus berasal dari pekerjaan formal atau penghasilan tinggi, melainkan dari usaha yang sungguh-sungguh dan layak sesuai kemampuan. 

“Dalam posisi ganda sebagai pendidik di sekolah dan ibu rumah tangga, penting bagi seorang istri untuk menimbang kembali secara bijak sebelum mengambil keputusan besar seperti perceraian,” ungkap Ustadzah Sayyida Naila Nabila, Pegiat Kajian Keislaman seperti yang dikutip dari NU Online. Karena itu, istri yang mendapati suaminya tetap berjuang secara konsisten dalam menafkahi keluarga hendaknya mempertahankan ikatan pernikahan dan tidak menjadikan keterbatasan materi sebagai alasan utama untuk bercerai, kecuali ada faktor lain yang menjadikan percerai satu-satunya solusi dan jalan keluar dari problem rumah tangga. (***)

Editor: arya abisatya
Sumber: NU Online