Navarin Karim

Bandara Sutan Thaha Jambi belum Bertaraf Internasional (Dipindahkan lagi atau Penyempurnaan)

 

By : Navarin Karim

Isu nasional yang paling hangat minggu ini adalah perseteruan Jenderal Sutiyoso bersama Jenderal Gatot Nurmantio dengan Hercules, sementara isu lokal yang tak kalah menarik adalah hasil identifikasi Departemen Perhubungan yang mengkatagorikan Bandara Udara (Bandara) Sutan Thaha Saefuddin bekum masuk taraf Internasional. Isu pertama, ngeri-ngeri sedap jika dibahas, lebih nyaman Isu kedua akan penulis bahas, karena jika bahas topik ke dua, resiko lebih kecil (high risk) terhadap resistensi. Penulis bukan preman dan bukan pula militer, maka tak punya nyali bahas topik pertama, bukan karena tidak punya senjata, namun Prinsip ‘perang tidak populer’ yang dianut, artinya adu argumentasi lebih dikedepankan. Bandara ini sebelumnya bernama Pelabuhan Udara Palmerah  dibangun tahun 1940 oleh pemerintah Kolonial Belanda.  Pada tanggal 10 Oktober 1978, pelabuhan udara tersebut  berganti nama menjadi Bandara Sultan Thaha Saifuddin. Terminal baru  bandara dipindahkan pada wilayah Kelurahan yang sama dan kecamatan yang sama, “seolah tidak berpindah” dimana lokasi jaraknya perpindahan juga tidak terlalu jauh, lebih kurang 10 sampai 15 menit dari tempat semula. Dibuka secara lokasi perpindahan bandara pada tanggal  27 Desember 2015 dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo tanggal 21 Juli 2016. Semula masyarakat beranggapan bahwa lokasi bandara yang dipindahkan ini sudah bertaraf internasional, nyatanya belum.  Hal yang mengagetkan lagi, beberapa hari yang lalu, pernyataan Sekretaris Daerah Provinsi Jambi mengemukakan bahwa ada investor yang tertarik bangun bandara bertaraf internasional di daerah Pesisir Provinsi Jambi. Opsinya di kabupaten Muara Jambi atau Tanjung Jabung Timur. Namun Sekda belum memutuskan dipindahkan, masih ada opsi penyempurnaan. Rekomendasi dari Kementerian Perhubungan bahwa Bandara yang ada sekarang masih memungkinkan menjadi katagori Internasional, seandainya landasan pendaratan diperluas. Sebenarnya menarik jika dipindahkan ke lokasi baru, karena dengan dibangun di lokasi yang lebih jauh akan menimbulkan “efek ganda (multipier effect”), karena sepanjang lokasi yang dilalui akan mengalami perubahan dan kemajuan yang significant. Mari kita merujuk pengalaman provinsi Sumatera Utara, dengan perpindahan bandara Polonia Medan ke Kualanamu, perkembangan pesat di sekitar daerah perpindahan. Dahulunya daerah tersebut daerah pesisir, kumuh (slum) yang lambat perkembangannya.  Jarak tempuh dari Polonia ke Kualanamu hampir dua jam, efeknya daerah yang dilalui maju pesat, bahkan dibangun pula trayek transportasi kereta api dari kota ke Kualanamu.  

Persoalan yang dihadapi Jambi adalah perpindahan bandara Palmerah ke Sutan Thaha Saifuddin Jambi baru berselang lebih kurang 10 tahun, sudah pula mau dipindahkan lagi. Seolah pembangunan di provinsi Jambi tanpa master plan yang jelas. Jika dipindahkan juga seolah “kurang gawe/kerjaan”  Situasi juga kurang elok, karena kondisi Jambi sedang defisit anggaran. Ditambah lagi turis asingpun masih jarang berkunjung ke Jambi. Artinya kalaupun masih ada kunjungan, turis domestik yang melirik. Bandara yang ada sekarang masih mumpunilah.  Opsi yang tepat adalah penyempurnaan , karena biaya yang dikeluarkan lebih sedikit ketimbang membangun yang baru. Rekomendasi Departemen Perhubungan, jika Bandara Sutan Thaha Saifuddin  akan ditingkatkan menjadi bertaraf internasional harus memperpanjang landasan pendaratan. Ini jauh lebih efisien ketimbang membangun yang baru. Jika membangun yang baru disamping cost membangun proyek baru, juga harus mengeluarkan biaya pembebasan tanah masyarakat.  Jika penyempurnaan, paling mengeluarkan biaya pembebasan lahan masyarakat dan perpanjangan landasan pendaratan.  Lebih bagus  Sekda giring investor bangun proyek hilirisasi. Multipier efect akan terwujud, disamping dapat menampung banyak tenaga  kerja, juga akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), melalui kebijakan  ekspor. Lantas bagaimana dengan Tanjab Barat dan Tanjab Timur daerah pesisir yang dianggap agak lambat perkembangannya dibandingkan kabupaten yang lain? Investor yang yang sudah berkeinginan membangun bandara baru tersebut diyakini tetap membangun daerah pesisir tapi proyek yang lain. Seperti membangun rumah susun. Di pesisir Tanjab Barat dan Timur  banyak sekali daerah slum. Rumah di sepanjang pesisir bukan rumah permanen, tetapi terbuat dari papan dan dibuat seperti rumah panggung, karena dibawahnya ada air jika pasang naik. Jika pasang surut, kotoran sampah menumpuk dibawah rumah. Banyak masyarakat terserang penyakit diare dan kudis (scabies). Resiko rumah  rentan terbakar juga akan sering terjadi, karena rumah terbuat dari papan.

Rekomendasi

Lakukan penyempurnaan bandara yang sudah ada, sejalan dengan kebijakan efisiensi Presiden Prabowo, sementara investor alihkan investasinya membangun rumah susun di daerah pesisir, agar rumah hunian masyarakat pesisir lebih layak dan hiegienis.  Jika opsi perpindahan ke Muara Jambi, penulis kurang sependapat karena jaraknya terlalu dekat dengan kota Jambi. Multipier effect nya  lebih kecil ketimbang Tanjab Barat atau Tanjang Timur.

Penulis: Navarin Karim
Editor: arya abisatya