JAKARTA, bungopos.com - Dalam syariat Islam kehalalan suatu makanan penentu utamanya bukan Label Halal, melainkan ketetapan dari Allah (syari') berdasarkan dalil syariat. Label halal ini sifatnya hanya administratif dan penguat saja. Sehingga makanan yang asalnya halal tanpa adanya Label Halal pun hukumnya tetap halal dikonsumsi. Dalam pandangan Madzhab Syafi'i hukum asalnya segala sesuatu adalah diperbolehkan hingga terdapat dalil yang menyatakan keharamannya. Imam As-Suyuthi dalam al-Asybah wan Nadhair Jilid I (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1403: 60) mengatakan:
ُالْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
Artinya, “Hukum asal segala sesuatu adalah boleh hingga terdapat dalil yang menunjukkan keharamannya.” Menurut beliau, kaidah tersebut ditopang oleh beberapa hadits, di antaranya dua hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani sebagai berikut:
مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَهُوَ حَلَالٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبَلُوا مِنْ اللَّهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
Artinya, “Apa yang Allah halalkan maka ia halal (hukumnya) dan apa yang Allah haramkan maka ia haram (hukumnya) dan apa yang Allah diamkan maka ia dimaafkan, maka terimalah maaf-Nya karena Allah tidak pernah melupakan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bazzar dan Thabrani)Dari paparan penjelasan di atas menjadi jelas bahwa makanan yang secara hukum asalnya halal dan tidak diketahui secara pasti dan meyakinkan terdapat bahan yang haram atau najis dalam proses pengolahannya maka hukumnya halal dikonsumsi meskipun tanpa label halal. Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baikSyekh Bakri Syatha menjelaskan bahwa segala sesuatu yang hukum asalnya telah ditetapkan kehalalan, keharaman, kesucian atau kenajisannya maka hukumnya tidak akan pernah berubah kecuali dilandasi dengan keyakinan bahwa sesuatu tersebut mengalami perubahan. Beliau menyebut dalam I'anatuth Thalibin Jilid I (Beirut, Darul Fikr, t.t.: 125):
إذا ثبت أصل في الحل أو الحرمة أو الطهارة أو النجاسة فلا يزال إلا باليقين، فلو كان معه إناء من الماء أو الخل أو لبن المأكول أو دهنه فشك في تنجسه، أو من العصير فشك في تخمره، لم يحرم التناول
Artinya, "Apabila asal hukum telah ditetapkan dalam kehalalan atau keharaman, atau kesucian atau kenajisannya, maka hukum itu tidak akan berubah kecuali dengan keyakinan. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki wadah berisi air, cuka, susu dari hewan yang halal dimakan, atau minyaknya, lalu ia ragu apakah wadah itu terkena najis atau tidak, atau wadah yang berisi air perasan anggur dan ragu apakah sudah berubah menjadi khamar atau belum, maka tidak haram untuk mengonsumsinya." (Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU)