Mohd Haramen

#RAMADHAN 3 (TIGA) : Hamba Spritual

KEAJAIBAN selalu muncul di era modernisasi kini. Ditengah kepongahan kapitalisme dengan usaha menumpukkan harta, selalu ada mahluk yang punya belas kasih memikirkan jalan menuju keabadian. Dia salah seorang pedagang ikan di pasar Aur Duri, Kota Jambi. Keramahan dan kemurahan hatinya membuat jubelan pembeli memadati lapaknya.

Suatu ketika saya melihat dia tidak memiliki uang receh untuk mengembalikan uang pembeli. Lalu dia berucap; ” Ibu bawak saja dulu uangnya, kalau ingat dibayar, kalo lupa saya halalkan,” ujarnya. Saya tersenyum melihatnya, lalu dia berujar. “Memang begitu bang, kalau tidak kito halalkan jika lupo, nanti takut jadi beban (dosa, red) bagi dio,” tukasnya.

Ujaran itu membuat saya terkejut. Sungguh, pedagang itu sudah menabrak diktum ilmu ekonomi yang kokoh berdiri yakni memaksimalisasi keuntungan. Asumsi dalam ilmu ekonomi, bahwa manusia berperilaku mementingkan diri sendiri (self-seeking behavior) dan cenderung ingin menumpukkan kekayaan dipatahkan oleh sikap pedagang itu.

Cara berdagang yang lebih mementingkan keberkahan ini selalu dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW dikenal dengan kejujurannya termasuk dalam berdagang. Beliau tidak pernah mengurangi takaran pada dagangannya, malah menambahkannya agar pembeli senang dengan pelayanannya. Kelebihan dan kekurangan kondisi barang dagangannya pun selalu beliau katakan pada pembeli.

Jika dunia diisi manusia yang berkepribadian seperti ini, maka tidak akan pernah muncul kemiskinan ekstrem, dan antrean sembako yang parah. Karena hasrat menguasai lebih kecil dari pada hasrat berbagi. Seluruh asumsi dan tatanan ekonomi inilah yang dirobohkan oleh pedagang itu. Ritual ekonomi baginya adalah paket ibadah untuk mencukupi kebutuhan hidup. Pedagang itu merupakan jelmaan hamba spiritual berwatak sosial. Dirinya mampu menempatkan insentif material di bawah imperatif moral.

Inilah sejatinya hakikat puasa: tak mengambil kelebihan yang diekspresikan dengan tak berlebihan saat berbuka. Lalu, peduli dan membagi kepedulian yang merupakan penghayatan lapar. Puasa adalah iman kepada yang di langit, meneguhkan hati memeluk bumi. Puasa melatih kita untuk menghayati nilai kekayaan yang sesungguhnya, yakni kaya hati dan puasa dari sikap serakah.

(Penulis adalah Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Batanghari yang juga Koordinator Pengurus Wilayah Laskar Santri Nusantara Provinsi Jambi)

Penulis: Mohd Haramen
Editor: Arya Abisatya