Oleh : Mohd Haramen, SE. ME,Sy
MANUSIA kerap terkecoh dengan kenikmatan yang fana, namun sukar melihat kemuliaan yang baqa. Imam Hanafi atau Abu Hanifah termasuk salah satu ulama mazhab yang kaya raya tapi tak terpengaruh dengan kenikmatan dunia. Meski seorang saudagar kaya, namun menurut Asad bin 'Amr "Imam Abu hanifah shalat subuh dengan wudhu shalat isya selama empat puluh tahun." (Siyar A'lam An-Nubala jilid 6 Hal.399). Bahkan Imam Abu hanifah menanggung seluruh biaya hidup muridnya. Sahabat Abu Hanifah, Al Mutsanna bin Roja' mengatakan bahwa setiap kali Imam Abu Hanifah menafkahi keluarganya dengan sejumlah harta, maka sejumlah itu pula ia akan keluarkan untuk sedekah kepada yang berhak.
Ulama lainnya, Imam Maliki juga termasuk imam mazhab yang alim tapi kaya raya. Ia terbiasa dengan pakaian mewah, surban menjuntai, kendaraan yang berganti-ganti dari jenis kuda dan unta mahal, serta asesoris duniawi lainnya. Bahkan saat hari wafatnya, Imam Malik meninggalkan harta yang cukup banyak, seperti karpet, bantal berisi bulu, dan lainnya yang ketika itu terjual dengan harga lima ratus dinar. Meski kaya raya, imam malik tak terpengaruh dengan yang fana itu. Imam Malik setiap hari solat sunnah 800 rakaat dan mengamalkan puasa daud selama 60 tahun.
Imam Ibnul Qayyim menyatakan: "Pecinta dunia tak akan terlepas dari tiga hal: kesedihan yang terus-menerus, keletihan yang berkelanjutan, dan penyesalan yang tidak pernah berhenti." Ketenangan hidup baru dirasakan bila manusia melepaskan, tidak menggenggam perkara dunia (zuhud).
Puasa mengajarkan kita kesejatian hidup untuk selalu berderma dengan mengingat penderitaan mereka yang tak punya. Merasakan lapar dan dahaga cukup menyadarkan kita, betapa sulitnya hidup dalam kesempitan. Perasaan itu diharapkan menggerakkan diri kita untuk menyisihkan sebagian yang kita punyai untuk mereka yang tak memiliki.
Kata Rasulullah: "Barang siapa yang mengambil dunia di luar kebutuhannya, maka tanpa sadar ia telah merusak dirinya sendiri."
Syahwat mengenggam dunia yang berlebih membuat kita lupa diri. Seolah dunia ini abadi. Padahal akan berakhir saat roh dilepaskan dari diri ini. Bila saat itu tiba, hanya tiga yang menemani, yakni amal, doa anak sholeh dan harta yang pernah diberi. Ternyata teologi memberi itulah yang membuat hidup abadi.
Penulis adalah Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Batanghari dan Pengurus Cabang Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Kota Jambi.