JAKARTA, bungopos.com - Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara paling berisiko tinggi terhadap bencana menurut data World Risk Report 2023. Poin Indonesia dengan World Risk Index (WRI) mencapai 43,50. Hal itu disebabkan oleh faktor keterpaparan terhadap bencana dan kerentanan akibat manajemen risiko bencana yang kurang memadai.
Namun demikian, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan penurunan jumlah kejadian banjir sejak 2022, meskipun fenomena El Nino meningkatkan curah hujan. Hal ini mencerminkan keberhasilan upaya mitigasi bencana banjir melalui pembangunan infrastruktur pengendali banjir.
Upaya mitigasi risiko bencana banjir dijalankan melalui kebijakan tata ruang daerah aliran sungai (DAS) atau Zero Delta Q. Kebijakan tersebut akan menjadi sorotan dalam proses politik 10th World Water Forum yang akan berlangsung di Bali pada 18--25 Mei 2024.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Dirjen SDA PUPR) Bob Arthur Lombogia menyampaikan hal itu dalam Konferensi Pers FMB9 Road to 10th World Water Forum dengan tema “Atasi Banjir, Kurangi Risiko Bencana” pada Selasa (6/2/2024). “Kebijakan Zero Delta Q akan menjadi isu penting dalam proses politik World Water Forum 2024. Jika prinsip ini diadopsi secara luas di seluruh Indonesia, maka kapasitas penyimpanan air akan meningkat, dan harapan kita untuk mitigasi bencana banjir akan tercapai,” ujar Dirjen Bob.
Kebijakan Zero Delta Q, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2017, menekankan bahwa setiap bangunan tidak boleh meningkatkan debit air ke sistem saluran drainase atau aliran sungai. Hal ini menjadi persyaratan dalam penerbitan izin pemanfaatan ruang di suatu DAS, seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau izin pemanfaatan ruang lainnya.
Satu hal, implementasi kebijakan tata ruang DAS memerlukan kerja sama yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, terutama karena sebagian besar penerapan kebijakan ini berada di wilayah pemerintah daerah. Dukungan diperlukan dalam hal pemanfaatan lahan di DAS untuk pertanian dan kegiatan masyarakat lainnya.
Lebih lanjut, Bob Arthur Lombogia menjelaskan bahwa untuk mengatasi bencana banjir, diperlukan strategi struktural seperti pengelolaan air untuk mitigasi bencana, yang meliputi pembangunan waduk, embung, kolam retensi, sumur resapan, dan lainnya. Pembangunan infrastruktur pengendali banjir, seperti normalisasi sungai Ciliwung, kolam retensi di Cilincing Jakarta Utara, dan pompa Ancol Sentiong, adalah contoh nyata dari upaya ini.
World Water Forum ke-10 diharapkan menjadi platform untuk bertukar pengalaman dan praktik terbaik terkait pengelolaan bencana, termasuk banjir, melalui tiga proses utama, yakni tematik, regional, dan politik. Pengelolaan dan mitigasi bencana banjir di Indonesia menjadi fokus utama pemerintah. Tentunya menekankan pada penyelarasan antara pengendalian struktural melalui penataan perilaku air dan nonstruktural melalui penataan perilaku manusia.
Mengenai hal itu, sebelumnya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyatakan bahwa program mitigasi bencana menjadi salah satu prioritas di 2023 guna meminimalkan dampak risiko bencana yang mungkin ditimbulkan. Mitigasi bencana, khususnya bencana hidrometeorologi basah maupun kering, jadi prioritas pemerintah.
Asisten Deputi Mitigasi Bencana dan Konflik Sosial Kemenko PMK Andre Notohamijoyo menjelaskan, bencana hidrometeorologi basah meliputi banjir, banjir bandang, tanah longsor, hingga puting beliung. Sementara itu, bencana hidrometeorologi kering meliputi kebakaran hutan dan lahan.
Asdep Kemenko PMK menambahkan bahwa pemerintah terus memperkuat koordinasi dan komunikasi lintas kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah. “Terutama pemerintah daerah yang wilayahnya memiliki risiko tinggi terhadap bencana-bencana tersebut, untuk melakukan langkah-langkah mitigasi serta meningkatkan kesiapsiagaan berdasarkan risiko bencananya,” katanya.
Salah satu contoh program mitigasi yang dimaksud, kata dia, adalah pemasangan alat deteksi dini bencana di sejumlah lokasi yang rawan bencana alam. “Selain itu, pemerintah daerah juga perlu menyiagakan personel dan berbagai peralatan penunjang. Yang tidak kalah penting adalah menggencarkan pembentukan desa tangguh bencana sebagai salah satu upaya mitigasi bencana berbasis komunitas,” imbuh Andre Notohamijoyo.
Kemenko PMK juga terus mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam mendukung program mitigasi bencana guna meminimalkan risiko bencana yang mungkin ditimbulkan. “Penguatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait dengan langkah-langkah mitigasi bencana juga perlu terus dioptimalkan guna meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat,” ujar Andre Notohamijoyo.
Dengan begitu, potensi bencana banjir di tahun-tahun berikutnya dapat dikendalikan. Mengingat Indonesia masih rawan bencana hidrometeorologi. Data BNPB menunjukkan, terdapat 137 bencana alam di Indonesia selama 1-23 Januari 2024. Kejadian tersebut didominasi oleh bencana hidrometeorologi sebanyak 97,81% dan bencana geologi 2,19%.
Menurut jenisnya, banjir jadi bencana alam yang paling banyak terjadi sepanjang periode tersebut, yaitu 93 kejadian. Bencana alam lain yang banyak terjadi adalah cuaca ekstrem sebanyak 33 kejadian, diikuti tanah longsor dengan tujuh kejadian. (***)