JAKARTA, bungopos.com - Sudah menjadi tabiat manusia untuk berdebat dan beradu argumen. Tabiat suka berdebat ini lerap disebut jadal atau jidal dan bentuk-bentuk derivasi lainnya dari kata tersebut. Misalnya adalah dalam Al-Qur'an Allah berfirman:
وَكَانَ الْاِنْسَانُ اَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا
Artinya, “..Manusia adalah (makhluk) yang paling banyak membantah.” (QS Al-Kahfi [18]:54).Mengutip buku Ushulul Jidal wal Munadharah halaman 23, Ibnu Rajab Al-Hanbali mengklaim bahwa debat pertama kali justru bukan dimulai oleh manusia, akan tetapi oleh malaikat ketika mempertanyakan keputusan Allah soal penciptaan manusia sebagaimana termaktub dalam surat Al-Baqarah.Seiring waktu di kala Allah mengutus para nabi ke muka bumi, beberapa aktivitas debat terdokumentasikan dalam kitab-kitab agama samawi, termasuk Al-Quran. Pola dan model debat yang dilakukan para nabi dinilai representatif sebagai debat yang baik dan beretika serta berisi argumen yang kuat.Pola debat yang dikisahkan dalam beberapa ayat Al-Quran seiring waktu menjadi pedoman bagi para ulama untuk menyusun karya yang khusus membahas debat secara komprehensif, baik pengertian, jenis, tata cara dan etika hingga landasan yuridisnya. Para ulama sepakat bahwa karya-karya debat muncul pada era pasca Nabi wafat begitupun para sahabat. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat siapa sebenarnya yang pertama kali mencetuskan suatu karya dalam bidang debat? Berikut ini adalah pandangan para ulama.
Pertama, An-Nawawi berpendapat bahwa debat menjadi disiplin ilmu tersendiri dan banyak ulama yang menuliskan karya khusus terkait dengannya, dan yang paling masyhur di antaranya adalah Al-Ghazali dan Abu Ishaq. Sedangkan yang pertama kali menyusun buku dalam tema debat atau ‘jadal’ adalah Imam At-Thabari (An-Nawawi, Tahdzibul Asma wal Lughat, [Beirut: Darul Kutub, t.t.], jilid III, halaman 48).
Apabila kita melacak keterangan An-Nawawi, karya yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali dalam ilmu debat adalah Al-Muntakhal fil Jadal 600 halaman beserta catatan penerbit Darul Warraq, sedangkan karya Abu Ishaq As-Syirazi adalah Al-Ma’unah fil Jadal 158 halaman termasuk catatan penerbit dan dipublikasi oleh Revival of Islamic Heritage Society.Kedua karya tersebut berisi ragam teknik dan seni berdebat yang tepat, di mana argumen tersampaikan pada lawan bicara, bahkan ada beberapa pembahasan teknis bagaimana membatalkan argumen lawan. Adapun klaim An-Nawawi terhadap pelopor karya dalam ilmu debat adalah At-Thabari dapat dilihat dari catatan Syamsuddin Ad-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala, bahwa At-Thabari menulis suatu karya dalam bidang debat. Sayangnya judul karya ini tidak disebut oleh Ad-Dzahabi dan belum ditemukan oleh penulis. (Ad-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, [Beirut: Muassasash Ar-Risalah], jilid XVI, halaman 63).
Kedua, pendapat terkait pelopor karya dalam ilmu debat disebutkan oleh Ahmad bin Mushtafa dalam karyanya Miftahus Sa’adah wa oleh Ahmad bin Mushtafa dalam karyanya Miftahus Sa’adah wa Mishbahus Siyadah fi Maudhu’atil ‘Ulum, karya ensiklopedia setebal 3 jilid yang awalnya diterbitkan dalam bahasa Turki dengan judul Asy-Syaqa'iqun Nu 'maniyah. Ahmad Mushtafa sendiri merupakan pakar ensikopedis yang hidup pada masa Turki Utsmani. Masyarakat Turki mengenalnya dengan panggilan Thasyikubra Zadah atau Taşköprülüzade Ahmet atau Taşköprülüzade Usameddin Ahmed bin Mustafa. Menurutnya, warisan karya berupa berdebat yang baik sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli fiqih (fuqaha) ditulis pertama kali oleh Abu Bakar Muhammad bin ‘Ali bin Isma’il Al-Qaffal As-Syasyi As-Syafi’iMenurutnya, warisan karya berupa berdebat yang baik sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli fiqih (fuqaha) ditulis pertama kali oleh Abu Bakar Muhammad bin ‘Ali bin Isma’il Al-Qaffal As-Syasyi As-Syafi’i atau biasa dikenal dengan Imam Al-Qaffal, seorang pakar fiqih, ushul fiqih, hadits, dan banyak ilmu lainnya dari mazhab Syafi’i. (Ahmad bin Mushtafa, Miftahus Sa’adah, [Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1985], jilid I, halaman 282). (***)