JAMBI, bungopos.com - Nikah siri merupakan fenomena yang banyak terjadi di masyarakat sejak dulu. Istilah nikah siri sebetulnya tidak dikenal dalam fiqh klasik. Namun pada masa Khalifah Umar bin Khattab, istilah “sirr” pernah disebutkan dalam sebuah riwayat.
Ketika beliau diberitahu bahwa telah terjadi perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi yang memadai, Umar berkata : “Ini adalah nikah siri dan aku tidak membolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti aku akan merajamnya”
Nikah Siri ada dua bentuk :
Pertama, nikah siri tanpa adanya wali yang sah dari pihak wanita.
Kalau nikah siri seperti ini, statusnya tidak sah karena syarat sah nikah adalah harus adanya wali dari pihak wanita. Dalil yang menegaskan haramnya nikah tanpa wali yaitu :
Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal”. (HR.Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)
Kedua, nikah siri di bawah tangan, artinya tanpa ada pencatatan dari lembaga resmi Negara (KUA).
Nikah seperti ini hukumnya sah dimata agama, selama memenuhi syarat dan rukun nikah. Hanya saja, pernikahan siri ini sangat tidak dianjurkan, karena mempunyai beberapa alasan yaitu :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada rasul, dan pemimpin kalian” (QS.An-Nisa’: 59) sementara kita semua paham, pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan islam atau hukum Allah.
Oleh karena itu, pernikahan yang baik adalah pernikahan yang sah dimata agama dan sah dimata hukum, dan resmi terdaftar dalam Negara, sehingga bila terjadi apa-apa dalam peristiwa pernikahan, Negara dapat melindunginya.