ILUSTRASI : Pemilihan Umum

Pemilu 2019 Berbeda Dengan 2024, Ini Bedanya Menurut Ketua KPU RI

JAKARTA, bungopos.com - Berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, informasi yang masuk kategori disinformasi sudah mulai bermunculan dan semakin hari semakin masiv peningkatannya, bahwa yang dimunculkan itu di antaranya adalah informasi-informasi yang sudah pernah dikemas di Pemilu 2014-2019, itu soal lain.

Hal ini disampaikan Ketua KPU Hasyim Asy’ari menanggapi pertanyaan terkait apakah hoaks dan fitnah melalui media sosial masih akan digunakan dalam Pemilu 2024 saat Rapat Koordinasi yang digelar oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) terkait Papua, Pemilu, dan Resiko. Rakor dipimpin Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, di Ruang Kresna Gedung Lastagatra Lemhannas, Jakarta, Senin (9/10/2023).

“Namun dalam pandangan kami, situasi memanasnya boleh dikatakan bisa jadi tidak sepanas Pemilu 2019 karena beberapa hal. Pertama Pemilu 2019 ada satu situasi yang katakanlah mematangkan atau memanaskan. Hal ini diawali dari Pilkada DKI 2017 yang kemudian diikuti Pilkada 2018 dan ujungnya di Pemilu 2019. Artinya isu dan berbagai macam bahan yang digunakan untuk memanaskan situasi itu berkelanjutan,” kata Hasyim

Untuk Pemilu 2024 nanti, tidak ada Pilkada 2022 karena masa jabatan kepala daerah yang habis Tahun 2022 tidak diisi lewat Pilkada, tapi oleh penjabat (Pj). Demikian juga kepala daerah yang habis masa jabatannya tahun 2023, juga diisi melalui penjabat (Pj) atau tidak lewat Pilkada.

“Setidak-tidaknya tensi beraroma kompetisi sepanjang  tahun 2022-2023 untuk kepala daerah boleh dikatakan situasinya menurun,”ucapnya.

Lanjut Hasyim, orang-orang yang saat ini disebut akan dicalonkan oleh partai politik ke KPU bisa dikatakan adalah orang-orang yang masih berada dalam pemerintahan ataupun pernah berada dalam pemerintahan, sehingga jika mereka akan menggunakan isu saling mencari titik lemah, ini agak problematik, karena pernah merasa pernah dalam satu tim, apakah di dalam Kabinet 2014, Kabinet 2019 atau dalam pemerintahan daerah, paling tidak sama-sama ada di dalam pemerintahan.

“Ini yang membedakan Pemilu 2024 dengan Pemilu 2019. Calon-calon pasangan presiden pada Pemilu 2019 boleh dikatakan, tokoh utamanya tidak dalam pemerintahan. Nah, sekarang ini profil-profil yang sudah dimunculkan semuanya berasal dari pemerintah, baik di pusat maupun di daerah,” lanjutnya.

Pemilu  akan digelar pada tanggal 14 Februari 2024. Menurut pasal 413 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara Pasangan Calon, perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR, dan perolehan suara untuk calon anggota DPD paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari setelah hari pemungutan suara. Artinya, 20 Maret 2024 sudah harus ada penetapan hasil pemilu secara nasional baik itu Pemilihan Presiden DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota maupun DPD.

Lanjutnya, yang membedakan situasi Pemilu 2024 dengan Pemilu 2019 adalah pada Pemilu 2019 pemilu serentak untuk memilih Presiden DPR, DPD, DPDR provinsi dan kabupaten/kota dan tidak ada pilkada. Pilkada digelar pada tahun berikutnya. Sementara untuk Pemilu 2024, Pilkada digelar di tahun yang sama.

Terkait pencalonan kepala daerah, jelas Hasyim, salah satu pintunya adalah melalui partai politik dengan memenuhi syarat minimal 20% perolehan kursi di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.

“Dalam pandangan kami secara berprasangka baik atau positif thingking bahwa persaingan atau kompetisi di 14 Februari pasti ‘kencang’ antara partai politik untuk memperoleh suara dan kursi yang dapat dikonversi menjadi kursi. Namun demikian hasilnya belum bisa dipastikan, terutama dalam pemilu DPRD yang nanti akan dijadikan basis untuk syarat pencalonan kepala daerah,” jelasnya.

Berapa perolehan suara atau kursi parpol baik di DPRD provinsi atau kabupaten/kota belum bisa dipastikan atau diprediksi, sehingga walaupun dalam situasi kompetitif di Pemilu 2024, partai politik juga akan menahan diri untuk tidak saling berkompetisi habis-habisan.

Setelah penetapan hasil pemilu baru diketahui perolehan suara atau kursi. Parpol  baru dapat mengukur dirinya memperoleh batas Minimal berapa untuk pencalonan kepala daerah, 20% atau tidak.

“Parpol pasti akan berpikir untuk cari teman kalau tidak sampai 20% perolehan kursi, sehingga bisa jadi masing-masing parpol sama-sama menahan diri untuk tidak saling bermain ‘zero sum game’, karena mereka masih memerlukan teman untuk pencalonan pilkada. Bisa jadi itu hikmah positif yang kita peroleh dengan desain keseretakan pemilu seperti ini,” pungkas Hasyim. (***) 

Editor: Arya Abisatya
Sumber: https://www.kpu.go.id/