HARAM : Apapun alasannya money politic hukumnya haram

Money Politic Benarkah Usaha Merebut Kebenaran? Ini Penjelasan Kitab Kuning

JAMBI, bungopos.com - Menjelang tahun politik, istilah Money politic marak terjadi. Istilah ini merupakan bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia berarti politik uang. 

Money politic adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun agar ia menjalankan haknya memilih calon tertentu pada saat pemilihan umum.

Sebenarnya, kajian kitab-kitab klasik sudah banyak yang menerangkan tentang istilah Money Politic ini. 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen​​​​​​ Ma'had Aly Al-Iman Bulus mengatakan dalam undang- undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang pemilihan presiden, politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye.

Dikatakannya, dalam pandangan Imam Al-Ghazali seperti yang dikutip Zakariya bin Muhammad Zakariya Al-Anshari dalam kitabnya Asnal Mathalib disebutkan bahwa :

"Harta jika diberikan untuk tujuan mendatang (pahala akhirat) maka dinamakan sedekah. Jika diberikan untuk tujuan segera (imbalan​​​​​​ dunia) berupa harta maka dinamakan hibah bisyartit tsawab. Jika pemberian harta itu atas perkara yang diharamkan atau kewajiban muaya'an maka dinamakan risywah. Jika untuk perkara yang mubah maka dinamakan dengan ijarah atau ja'alah. Jika pemberian harta karena murni tali kasih atau untuk berwasilah dengan derajat pangkatnya agar tercapai tujuan-tujuannya, itu dinamakan hadiah jika kedudukan dan derajatnya itu berupa ilmu atau nasab; namun jika berupa putusan hukum atau satu tindakan maka dinamakan risywah" 

Dari penjelasan di atas, kata Hanif Rahman, dapat disimpulkan bahwa risywah tidak hanya dalam konteks putusan hukum saja, tapi lebih luas dari itu.

Dengan demikian lanjutnya, money politic termasuk kategori risywah yang hukumnya haram.

Apalagi, sebutnya, dalam konteks pemilu secara umum dapat dipahami, yang dianggap risywah adalah segala pemberian yang bertujuan agar masyarakat  yang mempunyai hak pilih memihak kepada pihak pemberi. Oleh karena itulah kata Hanif, dalam kitab Bughyatul Mustarsidin disebutkan sebagai berikut : 

Betul, haram bagi penyuap jika risywah atau suap itu untuk mengambil apa yang bukan menjadi haknya atau membatalkan perkara yang hak. Adapun upaya (hailah) supaya ia mendapatkan haknya dan ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan haknya kecuali menyerahkan harta kepada qadhi yang korup, maka dosanya khusus untuk penerima suap saja." (Abdurrahman bin Muhammad bin Husain, Bughyatul Mustarsidin [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1433 H], halaman 269).

Muhammad Hanif sendirii menarik kesimpulan bahwa perlu dicermati dalam konteks kontestasi pemilihan pemimpin yang terjadi dalam era demokrasi saat ini, syarat kebolehan menyuap ini nyaris tidak mungkin terjadi.

''Sebab masing-masing kandidat secara hukum berada di posisi yang sama setelah dinyatakan lolos dan memenuhi syarat untuk mengikuti kontestasi pemilu,'' tandasnya. (arm)

 

Penulis: Arya Abisatya
Editor: Arya Abisatya
Sumber: https://islam.nu.or.id/