Ilustrasi remaja kecanduan hp

Waspada ! Remaja Kecanduan HP Rentan Bunuh Diri

Posted on 2025-11-09 19:05:50 dibaca 82 kali

JAKARTA, bungopos.com -  balik layar ponsel yang selalu menyala, di antara notifikasi yang tiada henti berdentang, ada sepi yang tidak semua orang bisa dengar. Sepi yang menelan tawa remaja, perlahan-lahan menggerogoti rasa percaya diri mereka. Di era ketika setiap momen bisa diunggah dan dibandingkan, tak sedikit yang merasa dirinya tak cukup — tak cukup cantik, tak cukup pintar, tak cukup bahagia.

Psikolog Bianglala Andriadewi menyebut fenomena ini sebagai sisi gelap dari dunia maya. Menurutnya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi dan koneksi, kini justru berubah menjadi cermin tajam yang memantulkan luka.
“Sebetulnya media sosial itu dapat memperbesar faktor risiko seperti cyber bullying, perbandingan sosial, dan gangguan tidur. Semua itu bisa membuat seseorang berpikir bahwa ‘aku tidak berguna, orang lebih baik daripada aku, aku tidak berharga’, sampai akhirnya mereka mengakhiri hidup,” ujarnya lembut, seperti dikutip dari NU Online.

Ungkapan Bianglala bukan sekadar analisis akademik. Ia melihat langsung bagaimana remaja masa kini tumbuh dalam tekanan tak terlihat. Tekanan untuk selalu tampil sempurna, untuk tidak tertinggal dalam arus pencapaian, untuk menjadi seseorang yang di-like banyak orang. Dalam keheningan kamar dan cahaya biru layar gawai, banyak anak muda tenggelam dalam perasaan gagal yang mereka pelihara diam-diam.

Yang membuat keadaan makin genting, kata Bianglala, adalah mudahnya akses terhadap konten yang berbahaya. “Sekarang sudah banyak platform seperti Google, TikTok, Twitter, bahkan ChatGPT yang ketika seseorang mengetik kata ‘bunuh diri’, mereka otomatis muncul memberikan langkah-langkahnya,” ungkapnya dengan nada prihatin.

Ia menggambarkan kondisi remaja yang berada di ambang putus asa itu seperti seseorang yang berjalan di terowongan panjang dan gelap. “Mereka tidak melihat cahaya di ujungnya. Di dalam kegelapan itu, mereka hanya butuh seseorang yang menggenggam tangan dan berkata, ‘kamu tidak sendiri’,” tuturnya.

Kata-kata itu menggugah — karena sering kali, remaja tidak benar-benar ingin mati. Mereka hanya ingin rasa sakit di dada berhenti. Mereka ingin seseorang mendengarkan tanpa menghakimi, memahami tanpa memaksa mereka untuk “cepat pulih”.

Dalam pandangan Bianglala, dunia digital yang tumbuh begitu cepat tidak diimbangi dengan kesiapan emosional manusia yang menggunakannya. Media sosial kini bukan sekadar tempat berbagi, tapi juga arena pembanding, ladang ekspektasi, dan sumber tekanan psikologis yang nyaris tanpa batas.

Namun di tengah gelapnya fenomena ini, harapan tetap ada. Setiap perhatian kecil, setiap percakapan hangat, bisa menjadi cahaya kecil di terowongan itu. Sebuah pesan sederhana seperti “kamu baik-baik saja?” mungkin terdengar remeh, tapi bisa menjadi penanda kehidupan bagi seseorang yang nyaris menyerah.

“Kadang mereka tidak meminta tolong dengan kata-kata,” kata Bianglala pelan. “Tapi lewat perubahan sikap—tiba-tiba diam, menarik diri, atau menulis hal-hal gelap di media sosial. Saat itu, kita harus hadir. Sekadar mendengar bisa menyelamatkan.”

Remaja hari ini tumbuh dengan layar di tangan, tapi tidak berarti mereka harus tumbuh sendirian. Dunia maya boleh luas, tapi pelukan nyata, perhatian yang tulus, dan empati tanpa syarat tetap menjadi penyembuh yang tak tergantikan. Karena, seperti kata Bianglala, “Cahaya selalu ada di ujung terowongan, asal ada yang mau menyalakan.” (***)

Editor: Arya Abisatya
Sumber: NU Online
Copyright 2023 Bungopos.com

Alamat: Graha Pena Jambi Ekspres,
Jl. Kapt. Pattimura No. 35 KM. 08
Kenali Besar, Kec. Alam Barajo, Kota Jambi

Telpon: -

E-Mail: bungoposonline@gmail.com