Navarin Karim

Bawaslu Penyangga Demokrasi Berintegritas (Revitalisasi Tupoksi Bawaslu)

Posted on 2024-10-11 23:28:17 dibaca 737 kali

 

Oleh : Navarin Karim

Menarik untuk melihat preferensi pemilih ditinjau dari perilaku pemilih Jambi. Perilaku pemilih yang paling dominan bukan rational, lebih cenderung kepada perilaku tradisional yaitu sosiologis dan psikologis. Perilaku Sosiologis saja bisa kalah dengan dengan perilaku psikologis. Pemilih jika disenangkan, seolah mereka seperti terbelenggu tidak akan pindah ke lain hati.

Banyak cara untuk menyenangkan masyarakat bisa sekedar janji-janji, pemberian uang, ajak foto bersama, kumpul dengan organisasi masyarakat disertai dengan memberi makan dan hiburan musik, pemberian cindera mata berupa kaos, jilbab, sarung, pemberian sembako dan sebagainya. Kalau mau ingin lebih diperhatikan berikan saja mentahnya. Bocoran hasil survey dari salah satu lembaga survey di Jambi, adanya demand Rp. 500.000/perorang jika tidak mau berpindah hati ketika pemilihan.

Tinggal kesiapan dan kemampuan kandidat saja dalam memenuhi demand masyarakat. Bahasa joke-nya : Nomor Piro Wani Piro (NPWP). Luar biasa mahal demokrasi di Indonesia. Pantas saja yang berani maju dalam pilkada mereka yang punya dana lima milyar rupiah ke atas. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) untuk level Provinsi Jambi dapat jadi referensi. Level kota atau kabupaten dibawah itulah.

Calon yang punya amunisi pas-pasan harus buat strategi cari pasangan yang punya amuninisi mumpuni, walaupun pasangan belum punya reputasi politik dan kepemerintahan. Jika kandidat tidak memberi sesuatu, ia akan mendapat julukan balon yang pelit. Pernah penulis bertanya dengan pemilih yang pendidikan rendah di kota Jambi.

Pertanyaan sebagai berikut : ibu untuk pilkada kota Jambi pilih siapa?Jawabannya cukup mencengangkan : cari kandidat yang tidak pelitlah. Istilahpelit bisa dimaknai tidak memberi sesuatu. Oknum pemilih yang tidak  mendapat cipratan rezeki dari kanditat inillah yang mengatakan “kandidat pelit” dan kecut (asam) yang dirasakan mereka. Padahal yang pelit ini yangbenar, tapi belum tentu baik dalam kompetisi yang tidak sehat. Faktakompetisi yang tidak sehat ini pe rlu pra syarat mutlak (conditio sine quanon) yang merupakan keniscayaan jika ingin diperbaiki, Bawaslu dalam melaksanakan fungsinya harus lebih tegas bertindak dengan sanksi yang nyata. Jangan lagi kalau sudah didesak awak media terkait dengan issuemoney politik, mereka berdiplomasi “kami akan lakukan pengecekan”, artinya setelah terjadi.

Bukan karena on the spot mereka menemukan langsung kejadian itu. Disinilah perlu kecerdasan Bawaslu menemukan langsung kasus-kasus money politik, bukan sekedar menunggu laporan. Satuan tugas (Satgas) Bawaslu perlu lebih diefektifkan. Ini idealnya, nyatanya jika ada laporan, oknum Bawaslu seolah mencari justifikasi bagaimana memberi tanggapan meyakinkan bahwa hal tersebut tidak benar.

Memang berat moral yang harus ditanggung oleh Bawaslu. Garda terakhir penjaga demokrasi ini berada digenggaman mereka. Mereka penyangga (buffer) demokrasi berinegritas. Namun pertanyaan yang muncul, apakah komisioner Bawaslu terpilih secara obyektif dan transparan. Seleksi hanya basa-basi, proporsi keanggotaan 40% maksimal memang dipilih secara obyektif dan selected people. 60 % lagi diduga kuat konspirasi. Makanya dikatakan demokrasi di Indonesia masih berada pada tataran demokrasi prosedural, bukan substantif.

Lembaga-lembaga kepemiluan hanya sebatas umbul-umbul meramaikan demokrasi. Personil Bawaslu terbatas, idealnya mereka punya Satuan Tugas (satgas) yang memantau langsung kemungkinan-kemungkinan terjadi penyimpangan ketika kandidat melakukan say hello kepada masyarakat atau ketika kandidat mengumpulkan masyarakat.

Ini yang disebut sidak (On the spot). Inspeksi Mendadak (Sidak) jauh lebih efektif dari pada mengharap pengawasan partisipatif dari masyarakat. Memang dua tahun yang lalu pernah sosialisasi terbatas terobosan dengan memperkenalkan pengawasan partisipatif untuk membantu Bawaslu menemukan penyimpangan pemilu. Pengawasan partisipatif ini kalaudiidentifikasikan dengan teori pengawasan sama sebangun dengan pengawasan setelah terjadi, karena berupa laporan (report).

Belum lagi banyak yang tidak paham bagaimana masyarakat melibatkan diri pada pengawasan partisipatif. Pengawasan partiisipatif menuntut kesadaran tinggi dari warga masyarakat dalam meningkatkan kualitas pemilu dan pilkada. Namun kenyatannya banyak yang apatis, karena khawatir beresiko akibat laporan yang dibuat. Bahkan lebih efektif kalau memanfaatkan CCTV atau rekaman foto whatsApp.

CCTV dan WhatsApp juga masih masuk katagori pengawasan setelah terjadi. Yang paling bagus adalah tangkap tangan gaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang hanya mungkin dilakukan oleh Satuan Tugas (Satgas) yang telah diberikan wewenang yang bekerjasama dengan kejaksaan dan kepolisian. Artinya pengawasan lapisan bawah harus makin diperkuat. Satgas juga harus diberi kompensasi yang layak dalam rangka memberi apresiasi terhadap kinerja mereka. Jika sudah dikondisikan, tinggal itikad baik Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk menindaklanjuti.

Diskursus diatas dengan asumsi jika Bawaslu memang serius melaksanakan tupoksi suci (mission sacre). Timbulnya keraguan, apakah Bawaslu punya keberanian? Bawaslu seharusnya bisa kita pelesetkan dengan kepanjangan Badan Pengawas Tanpa Rasa Malu (Bawaslu), artinya tanpa sungkan dan keraguan menjalankan tupoksinya. Pluit Bawaslu sangat ditunggu, jangan senyap dalam menegakkan demokrasi berkeadilan dan bermatabat.-----------Penulis dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Jambi.

Penulis: Navarin Karim
Editor: arya abisatya
Copyright 2023 Bungopos.com

Alamat: Graha Pena Jambi Ekspres,
Jl. Kapt. Pattimura No. 35 KM. 08
Kenali Besar, Kec. Alam Barajo, Kota Jambi

Telpon: -

E-Mail: bungoposonline@gmail.com