MUARA BUNGO, bungopos.com – Lingkungan akademik Institut Administrasi dan Kesehatan Setih Setio (IAKSS) Muara Bungo masih berduka. Pasca EY (37), dosen sekaligus Ketua Program Studi yang dikenal cerdas, ramah, dan berprestasi, ditemukan tak bernyawa di kediamannya, kini kasusnya makin terang.
Setelah beberapa hari penuh tanda tanya, tabir misteri kematian EY akhirnya terungkap. Polisi menetapkan Waldi (22), orang dekat korban, sebagai pelaku utama. Yang membuat publik kian terkejut, hubungan keduanya ternyata bersifat “khusus tanpa status”—sebuah ikatan emosional yang berujung tragis.
Kapolres Bungo, AKBP Natalena Eko Cahyono, dalam konferensi pers Selasa (4/11/2025), mengungkap kronologi malam nahas itu. Sebelum tragedi terjadi, EY dan Waldi diketahui sempat makan malam bersama di salah satu tempat di Kota Muara Bungo. Sekitar pukul 23.30 WIB, keduanya tiba di rumah korban. Namun suasana hangat berubah menjadi tegang.
“Terjadi adu mulut antara keduanya di rumah korban. Dalam kondisi emosi, pelaku kemudian menekan leher korban menggunakan gagang sapu hingga korban kehabisan napas,” jelas Kapolres.
Setelah memastikan korban tak bernyawa, pelaku malah melanjutkan aksinya dengan membawa kabur barang-barang berharga milik korban — mulai dari mobil Honda Jazz, motor Honda PCX, telepon genggam, hingga perhiasan emas. Polisi menilai tindakan tersebut menunjukkan adanya unsur perencanaan dan niat jahat.
“Perbuatan pelaku ini tergolong pembunuhan berencana. Ia kami jerat dengan Pasal 340 subsider 338 KUHP, Pasal 351 ayat 3 KUHP, serta Pasal 181 KUHP,” tegas AKBP Natalena.
Penyidik juga tengah menelusuri berbagai informasi yang berkembang di masyarakat, termasuk kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat. Namun sejauh ini, penyelidikan belum menemukan bukti ke arah tersebut.
“Kami imbau masyarakat tidak berspekulasi. Proses hukum kami pastikan berjalan profesional dan transparan,” tambah Kapolres.
Bagi rekan-rekan di kampus, EY bukan sekadar dosen, tetapi juga sosok pembimbing dan panutan. Seorang kolega menyebut, EY dikenal telaten membimbing mahasiswa dan aktif dalam kegiatan sosial kampus. “Beliau selalu datang paling pagi dan pulang paling akhir. Susah membayangkan ruang prodi tanpa beliau,” ujar salah satu staf IAKSS dengan mata berkaca.
Kini, suasana di kampus terasa berbeda. Meja kerja EY dibiarkan kosong, sementara mahasiswa menyalakan lilin di depan ruangannya sebagai bentuk duka. Tragedi ini bukan hanya kehilangan bagi dunia pendidikan, tetapi juga pengingat pahit bahwa hubungan manusia yang tak sehat bisa berujung pada malapetaka.
Masyarakat berharap proses hukum berjalan tuntas dan adil. Di balik jeruji, pelaku mungkin akan menyesali perbuatannya. Namun di hati banyak orang, nama EY akan selalu dikenang sebagai pendidik yang berhenti terlalu cepat — seorang perempuan tangguh yang hidupnya terhenti di tengah dedikasinya untuk dunia ilmu. (aca)