MASJID merupakan rumah-Nya Allah SWT, sehingga sebaiknya dikonsep "ramah" untuk siapapun. Di jaman Nabi SAW, masjid Nabawi selalu terbuka untuk umum. Bahkan seorang sahabat bernama Thamamah, dirinya sebelum masuk Islam sering tidur dan bermalam di dalam masjid yang dibangun oleh Rasulullah SAW tersebut.Inilah dalil yang dijadikan dasar Imam Syafii bahwa hukum tidur di dalam masjid adalah mubah (boleh). Pertimbangannya ialah kalau untuk non-muslim saja dibolehkan maka apalagi buat seorang muslim. Masjid selayaknya dikelola menjadi tempat yang ramah untuk siapapun.
Sementara kini seiring dengan berdirinya bangunan masjid yang mentereng dan megah, oleh pengelolanya justru masjid diperlakukan eksklusif. Pintu masjid hanya terbuka pada waktu-waktu tertentu saja. Sehabis salat jemaah, pengelola menutup dan mengunci pintu masjid rapat-rapat. Alasannya masjid adalah tempat suci dan sakral.
Kebanyakan masjid pada saat ini diperlakukan hanya untuk kegiatan salat dan zikir saja. Anak-anak yang sedang tumbuh belajar tata cara beribadah, tatkala bercanda dan bermain di masjid mereka dimarahi dan diusir keluar. Orang yang beristirahat dan tertidur di masjid diperingatkan dan bahkan dikeluarkan. Sekarang ini banyak masjid berdiri megah tetapi tidak ramah untuk jamaah.
Padahal di dalam nas al-Quran dan hadits tidak ada satupun yang menjelaskan fungsi masjid hanya untuk peribadatan yang sakral semata. Sebaliknya ada banyak dalil yang menjelaskan fungsi masjid untuk kegiatan profan. Misalnya Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Aisyah ra. beliau berlomba gulat dengan para sahabat di dalam masjid. Pada saat itu Umar bin Khattab tidak berkenan namun setelah dirinya datang dan melihat Rasulullah bergulat di dalam masjid, maka Umar memakluminya.
Sebagai rumah-Nya Allah sepatutnya lebih didahulukan fungsi masjid yang ramah daripada fungsi masjid yang suci dan sakral. Masjid yang ramah dapat berfungsi menjadi tempat berteduh siapapun yang membutuhkannya. Pertimbangan inilah yang dijadikan argumentasi mayoritas ulama Mazhab di dalam Islam untuk membolehkan tidur di dalam masjid. Termasuk Mazhab Maliki, sekalipun menghukumi makruh tidur di dalam masjid bagi mereka yang sudah memiliki tempat tinggal.
Sementara alasan ulama yang secara umum membolehkan tidur di dalam masjid, termasuk yang sudah memiliki tempat tinggal adalah hadits dengan latar sosial kehidupan keluarga Ali bin Abu Thalib. Pada suatu saat, Rasulullah bertandang ke kediaman putri beliau, yakni Fatimah ra. namun tidak mendapati suaminya, yaitu Ali.
Fatimah berkata: "Ada satu masalah di antara saya dengan dia, sehingga dia keluar rumah." Mendengar penjelasan putrinya, Rasulullah kemudian memerintahkan salah satu sahabat untuk mencari Ali; dan rupanya menantu Nabi itu tertidur pulas di dalam masjid dalam posisi jubahnya tersiak dan terlumuri debu, baik badan maupun pakaian Ali.
Setelah mendapat laporan Ali bin Abu Thalib berada di dalam masjid, Rasulullah SAW bermaksud menjemputnya dan kemudian berkata: "Bangunlah, Hai Abat-turab (Bapak yang berlumur debu)!" Inilah dalil boleh tidur di dalam masjid.
Dalam keterangan lain juga dijelaskan tentang kebiasaan Abdullah bin Umar dimana di masa kecil dan remajanya lebih banyak tidur di dalam masjid pada waktu malam. Hal ini menunjukkan bahwa masjid seharusnya terbuka dan ramah untuk siapa saja. (***)