JAKARTA, bungopos.com - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI, menerapkan kebijakan baru dengan menjadikan Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran wajib di jenjang Sekolah Dasar, khususnya pada kelas 3-6. Rencananya, penerapan pelajaran bahasa Inggris ini dimulai pada tahun 2027.
Kepala Prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr. Adi Sutrisno, MA, menilai kebijakan K Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib di sekolah dasar merupakan langkah strategis dan visioner. “Kalau kita kaitkan dengan kurikulum ataupun pendidikan secara keseluruhan di Indonesia ini, maka itu menjadi salah satu bagian yang merupakan kunci keberhasilan dari pendidikan di Indonesia di suatu saat nanti,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa rancangan kebijakan ini memiliki kaitan yang erat dengan era kompetisi negara. Sebab, setiap negara di dunia menetapkan qualification frameworks sebagai standar kompetensi global. Termasuk di Indonesia yang diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dalam bentuk Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN DIKTI).
Melalui hal tersebut, kemudian terbentuklah paradigma baru berbasis capaian yang disebut sebagai Outcome-Based Education (OBE). Namun, OBE tidak akan berfungsi optimal tanpa pondasi yang kuat di jenjang pendidikan sekolah dasar. Oleh karena itu, Bahasa Inggris sebagai salah satu penguatan kompetensi nasional menjadi penting untuk diterapkan sebagai pendidikan dasar. “Membangun kesiapan sejak kini untuk menapaki kualifikasi global,” ungkapnya.
Selain perihal sebagai penguatan kompetensi nasional, kata Adi, rancangan kebijakan Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran wajib selaras dengan temuan neuroscience modern. Masa sekolah dasar yang biasa disebut dengan periode golden age, otak mengalami sinaptogenesis atau ledakan kebutuhan koneksi antar neuron yang memungkinkan perkembangan bahasa secara besar. “Pada tahap ini, prefrontal cortex ini berkembang cepat memfasilitasi kemampuan kognitif, memori, dan pengambilan keputusan,” jelasnya.
Untuk mendukung penerapan kebijakan ini, bagi Adi perlu adanya kesiapan dari para tenaga pengajar. Sebab pada masa sekarang proses belajar banyak mengalami perubahan pasalnya guru-guru mungkin masih menggunakan paradigma lama. “Perlu adanya penyesuaian antara sekolah dan kurikulum dengan kondisi yang dibutuhkan saat ini,” ungkapnya.
Meski demikian, kebijakan ini menurut Adi tetap akan menghadapi da berbagai tantangan dalam penerapannya karena masih adanya ketidakmerataan fasilitas serta akses pendidikan. Walau ketimpangan pendidikan akan selalu ada, namun menurutnya harus tetap ada peluang yang dapat ditinjau melalui perbaikan kurikulum dan kesiapan kompetensi para guru. “Sekarang yang penting core-nya, sejauh mana kesiapan kurikulum itu, bagaimana persiapan-persiapan dilakukan oleh guru-guru, atau mungkin pihak-pihak yang berkompetensi di bidang ini menyiapkan diri dalam menghadapi kebijakan yang telah ditetapkan ini,” pungkasnya. (***)