ILUSTRASI : Tasbih dan Alqur'an

PPN Naik 12 Persen, Begini Pandangan Fiqh Syariah

JAKARTA, bungopos.com - Akhir-akhir ini publik dibuat ramai terkait perbincangan mengenai PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang naik menjadi 12 % pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini tertuang pada UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Yang menjadi polemik dalam hal ini adalah cakupan barang yang menjadi sasaran terkena pajak.

Menurut sumber dari fiskal.kemenkeu.go.id, cakupan Barang Kena Pajak (BKP) sifatnya adalah negative list. Artinya setiap barang merupakan BKP kecuali beberapa barang yang dikecualikan tidak terkena PPN. Contohnya seperti hasil pertambangan, penggalian, pengeboran, makanan pokok yang dibutuhkan orang banyak, makan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, tidak termasuk yang diserahkan oleh usaha jasa boga.

Lalu, bagaimana konsep dan hukum fiqih tentang pemungutan pajak tersebut  ? 

Dalam fiqih, perlu dipahami bahwa penarikan, pengumpulan atau pemungutan pajak secara hukum asal itu adalah haram. Karena secara kaidah, hal tersebut termasuk mengambil harta seseorang secara paksa. Kecuali pada konteks zakat dalam syariat yang justru diperbolehkan dan merupakan suatu kewajiban umat Islam.   Meskipun demikian, jika pemungutan itu bertujuan untuk kemaslahatan rakyat dan menyasar kalangan berkecukupan (kaya), maka pemungutan itu justru diwajibkan. Hal ini sesuai yang dijelaskan Ibn Hazm dalam kitab Al-Muhallâ bî al-Atsâr fî Syarh al-Mujallâ bi al-Ikhtisâr jilid 6 halaman 156 sebagai berikut:   وفُرِضَ على الأغنياء من أهل كل بلد أن يقوموا بفقرائهم، ويُجْبِرهم السلطان على ذلك إن لم تقم الزكوات بهم] اهـ   Artinya: "Dan dari kalangan orang-orang kaya dari setiap negara diwajibkan untuk membantu orang-orang miskin di antara mereka. Dan pemerintah harus memaksa mereka untuk melakukannya jika dana zakat tidak mencukupi."    Hal ini juga dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam  Al-Mustashfâ jilid 1 hal. 303-304 bahwa dalam keadaan mendesak seperti kekosongan kas negara. Maka bagi pemerintah diperbolehkan untuk memungut pajak yang menyasar kepada orang-orang yang berkecukupan (kaya) sesuai dengan kebutuhan. Sebagai berikut:   إذا خلت الأيدي من الأموال، ولم يكن من مال المصالح ما يفي بخراجات العسكر، ولو تفرق العسكر،واشتغلوا بالكسب لخيف دخول العدو ديار المسلمين، أو خيف ثوران الفتنة من أهل الغرامة في بلاد الإسلام، جاز للإمام أن يوظف على الأغنياء مقدار كفاية الجند اهـ    Artinya: "Jika kekuasaan kosong dari harta (kas), dan tidak ada harta dari sumber-sumber kemaslahatan umat yang cukup untuk memenuhi biaya pasukan, dan jika pasukan membubarkan diri meninggalkan pos masing-masing dan mereka sibuk mencari nafkah, maka pasti dikhawatirkan musuh akan masuk ke negara Muslim, atau dikhawatirkan meletusnya fitnah dari kalangan orang-orang yang teraniaya di negeri-negeri Islam, maka dalam hal ini diperbolehkan bagi imam untuk mengenakan pajak kepada orang-orang kaya sebesar nominal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tentara yang diperlukan."    Maksud dari kebolehan pemungutan ini ialah sebatas diperlukan untuk menghilangkan kondisi terdesak tersebut. Karena mengacu pada kaidah fiqih bahwa segala sesuatu yang aslinya dilarang, kemudian diperbolehkan karena terdesak maka dibatasi sesuai dengan kadarnya. Berikut kaidahnya:   {ما جوزت للضرورة تقدر بقدرها} [ وكل محظورٍ مع الضرورةْ بقَدْرِ ما تحتاجه الضرورةْ ] والمقصود أن كل فعل جوِّز للضرورة إنما جاز ذلك الفعل بالقدر الذي يحصل به إزالة تلك الضرورة، ولا يجوز الزيادة عن هذا الحدّ، ومعرفة ذلك راجعة إلى المتضرر نفسه كما سبق   Maksudnya adalah bahwa segala sesuatu yang aslinya dilarang, kemudian dibolehkan karena darurat, maka perbuatan tersebut hanya dibolehkan sejauh yang diperlukan untuk menghilangkan kondisi darurat tersebut. Dan tidak diperbolehkan untuk melebihi batas tersebut. Dan untuk mengetahui kadar tersebut dikembalikan kepada orang yang terdampak, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.   Dalam fiqih kontemporer, mengutip pernyataan dari Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû jilid 7, halaman 5002 menyebutkan sebagai berikut:   ونص فقهاء الإسلام كالغزالي والشاطبي والقرطبي على مشروعية طرح ضرائب جديدة على الأغنياء والغلات والثمار وغيرها بقدر مايكفي حاجات البلاد العامة، وأقر ذلك مجمع البحوث الإسلامية في مؤتمره الأول المنعقد سنة ١٩٦٤م في قراره الخامس     Artinya: "Para fuqaha' seperti Imam Al-Ghazali, Imam Syathibi, Imam Qurthubi justru menyatakan pemberlakuan kebijakan pemungutan pajak sebagai aturan baru yang ditetapkan bagi orang-orang kaya, hasil-hasil bumi, buah-buahan, dan komoditas lainnya hanya sebatas untuk mencukupi kebutuhan kas negara secara umum saja. Keputusan ini juga telah diputuskan oleh Majma' Buhuts Islamiyyah (Lembaga Kajian Riset Islam) dalam Muktamar Perdananya yang terselenggara pada tahun 1964 M dalam keputusan nomor 5 sebagai berikut."    Namun dalam kebolehan kebijakan pemungutan atau penarikan pajak terdapat 4 persyaratan yang harus dipenuhi sebagai berikut:    واشترط لجواز فرض الضريبة أربعة شروط. الأول؛ أن تكون هناك حاجة حقيقية بالدولة إلى المال، ولا يوجد مورد آخر لتحقيق الأهداف وإقامة المصالح دون إرهاق الناس بالتكاليف   Artinya: "Syarat pertama: "Terdapat kepastian akan kebutuhan negara terhadap harta hasil pemungutan pajak tersebut, dan tidak ada sumber dana lainnya yang bisa digunakan untuk memenuhi tujuan negara maupun untuk merealisasikan kemaslahatan masyarakat dengan tanpa membebani masyarakat melalui berbagai kewajiban.   " الثاني؛ أن توزع أعباء الضرائب بالعدل بحيث لا يرهق فريق من الرعية لحساب فريق آخر، ولا تحابى طائفة وتكلف أخرى   Syarat kedua: "Membagi besaran kewajiban pajak secara adil sekiranya tidak membebani sebagian rakyat untuk memenuhi beban rakyat yang lainnya, dan sekiranya tidak menyenangkan sebagian golongan namun yang lain justru merasa keberatan.   " الثالث: أن تصرف الضريبة في المصالح العامة للأمة٠   Syarat ketiga: "Hasil dana pajak dialokasikan untuk kemaslahatan umum bagi masyarakat.   " الرابع: موافقة أهل الشورى والرأي في الأمة٠ لأن الأصل في أموال الأفراد الحرمة، والأصل أيضاً براءة الذمة من الأعباء والتكاليف٠   Syarat keempat: "Disetujui oleh para Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan berdasarkan pendapat dari para rakyat. Hal ini berdasarkan kaidah asal yang menyatakan bahwa hukum asal dari mengambil harta seseorang adalah haram. Serta kaidah yang menyatakan jika hukum asal dari sesuatu itu ialah bebas dari tanggungan, baik berupa beban maupun kewajiban."    Kesimpulan    Berdasarkan paparan ini, secara konsep fiqih, hukum asal pemungutan penarikan, pengumpulan atau pemungutan pajak adalah haram (tidak diperbolehkan). pasalnya, hal tersebut termasuk mengambil harta seseorang secara paksa. Secara kaidah hukum asal, seseorang itu terbebas dari tanggungan beban atau pun kewajiban.    Namun dalam kondisi darurat atau hajat, penarikan atau pemungutan pajak secara menyeluruh dalam fiqih hukumnya diperbolehkan dengan catatan jika mekanisme pemberlakuan dan pemungutan pajak merupakan perantara untuk penanggulangan hajat (kebutuhan) program pemerintah atau darurat kas negara. Pemungutan pajak dilakukan secara adil dan proporsional, dana pajak dialokasikan untuk kemaslahatan umum bagi masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi. Selain itu, kebijakan ini juga sudah disetujui dan disahkan oleh DPR serta berdasarkan aspirasi dari para masyarakat. Dalam konteks kebijakan kenaikan PPN 12% yang sudah termaktub dalam UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), penerapan pemerintah atas kebijakan ini yang terpenting adalah harus berdasarkan kemaslahatan rakyat. Karena meskipun terdapat kemaslahatan dalam penerapannya akan tetapi harus tetap mengantisipasi dan mempertimbangkan ulang dampak kemafsadatan yang diakibatkan atas kebijakan tersebut.   Hal ini agar tidak menjadi polemik pro-kontra di masyarakat. Sebab jika kebijakan pemerintah terdapat kemaslahatan, tetapi dalam penerapannya justru kemafsadatannya jauh lebih besar, maka pencegahan mafsadat harus lebih diprioritaskan dibanding merealisasikan kemaslahatan tersebut.    (Safdhinar M. An Noor adalah Pegiat Kajian Keislaman & Dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya Jawa Timur)
Penulis: Safdhinar M. An Noor
Editor: arya abisatya
Sumber: NU Online