(Tanggapan terhadap opini Hayatullah Qomaini)
Oleh : Navarin Karim
Menarik memantik tulisan mahasiswa semester tujuh prodi Ilmu Politik Universitas Jambi di Media on line yang berjudul Sosialisasi Ala KPU : Formalitas Mewah Tanpa Makna. Apresiasi terhadap Hayatullah Qomaini, karena sudah jarang ada mahasiswa yang kritis dan skeptis terhadap lingkungan eksternal dalam bentuk ekspresi tulisan. Tulisan ini seolah secara tidak langsung mempersoalkan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) berkaitan dengan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi).
Terminologi Tupoksi tidak ditemukan dalam referensi manajemen, karena menggunakan istilah Uraian Tugas (Job description yang disingkat jobdes). Jangan pula Tupoksi disingkat lagi dengan Tusi, bisa terpeleset jadi Tesi nama salah satu pelawak Srimulat. Bikin tambah bingung, Tupoksi merupakan akronim /singkatan, malah disingkat lagi.
Kembali kepada tupoksi KPU, mari kita simak terlebih dahulu tupoksi KPU, sehingga dapat menanggapi secara jelas yang menimbulkan “keanehan/strange” bagi penulis sebelumnya. Tupoksi KPU daerah dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada secara umum terdiri dari : (1) perencanakan program, anggaran, dan jadwal pilkada, (2) mengatur dan menetapkan tata kerja PPK, PPS , dan KPPS, (3) menyusun dan menetapkan pedoman teknis setiap tahapan Pilkada berdasarkan peraturan perundang-undangan, (4) Membentuk PPK, PPS dan KPPS), (5) Mengoordinasikan, menyelengarakan, dan mengatur seluruh tahapan pilkada, (6) pemutakhiran data......etc.
Intinya memang tidak ada yang berhubungan dengan pendidikan politik yang dikaitkan dengan pencerdasan pemilih. Ini menjadi tugas stakeholder lainnya, seperti Perguruan Tinggi, Badan Kesbangpol, Tim Kampanye dan tim sukses. Tidak melibatkan KPU dalam penyelenggaraan pencerdasan pemilih, dapat dimaklumi agar, mereka tidak terjebak mengarahkan pemilih kepada balon/kandidat tertentu. Jadi berkaitan dengan administrasi dan teknis kepemiluan ansich.
Kritikan terhadap sosialisasi administrasi dan teknis kepemiluan di hotel tanpa makna tersebut, penulis menduga karena keterbatasan tenaga dan agar penyerapan anggaran dapat memenuhi kinerja keuangan. Keterbatasan jumlah tenaga; untuk sosialisasi tatap muka sehingga sampai ke akar rumput (grassroot) jelas tak mungkin, makanya hanya representasinya masyarakat yang diundang, dan dikaitkan dengan penyerapan anggaran lebih praktis dan pragmatis jika dilakukan di hotel supaya elegance dan penyerapan anggaran bisa lebih banyak. Sebenarnya diperbanyak saja alat peraga berupa sepanduk atau selebaran kepada masyarakat atau gunakan running text atau iklan di tv/radio, youtube, facebook dan instagram.
Ada lagi keanehan kegiatan saudara KPU yaitu Bawaslu dalam sosialisasi kegiatan yaitu memberi sovenir dan baju kaos, agar peserta yang hadir antusias., diutamakan target penyerapan anggaran tercapai. Kalau memerlukan nara sumber dan atau panelis, honornya dibesar-besarkan. Hebatnya lagi ada KPU yang support panelis buat jas. Panelis di pusat saja cukup pakai batik pribadi tidak uniform. Standar tinggilah, walaupun terjebak kepada Gasak Duit Negara (GDN). Akuntabilitasnya yang penting jelas (clear).
Kendala (constrain) Kesbangpol dan PT
Berkaitan dengan pencerdasan pemilih, khususnya pemilih pemula di Kesbangpol diadakan di kantor dan atau datang ke sekolah-sekolah, namun yang diundang dan atau dikunjungi tidak sampai grassroot / lokasi marginal serta proporsinya jauh dari jumlah pemilih pemula. Kasus lain, pengabdian masyarakat di PT dengan tema pencerdasan pemilih anggarannya sangat kecil. Insentifpun dibagi untuk orang lima, karena satu tim harus orang lima. Paradok memang dengan proyek KPU. Seharusnya di Perguruan Tinggi (PT) harus ada lembaga Pencerdasan Pemilih (LPP) yang dibiayai pemerintah secara permanen.
Inspirasinya seperti di Fakultas Hukum ada lembaga Bantuan Hukum (LBH) bagi masyarakat yang tidak mampu. Diskursus ini diajukan dengan asumsi jika pemerintah sungguh-sungguh serius menjadikan pemilih berperilaku rational. Jika pola ini tidak berubah (statusquo) , konsekuensinya tetap saja calon-calon yang kurang kompten dan kurang berkualitas akan maju. Lestarilah mereka yang punya amunisi dan terminologi Nomor Piro Wani Piro (NPWP), dust perilaku pemilih sosiologis dan psikologis akan tetap dominan. Masyarakat pemilih tidak bisa juga kita salahkan, karena prasyarat mutlak (conditio sine quanon) belum terpenuhi untuk sistem politik demokrasi yang terlalu dipaksakan.
Akhirnya banyak mudharat ketimbang manfaat. Inilah tantangan utama pemerintah dalam mencerdaskan masyarakat dan memajukan kesejahteraan umum seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Harapan masyarakat bertumpu kepada Presiden dan wakil Presiden baru kita, namun tidak cukup hanya memberi makan gratis bagi masyarakat tidak mampu. Ini dimaknai kesejahteran masyarakat masih jauh panggang dari api. Masih lama negara ini akan menggapai sistem politik ideal (Demokrasi), sementara masyarakat miskin dan berpendidikan rendah masih banyak. Wajar saja, kesejahteraan merupakan never ending goal, artinya beberapa periode jangka panjang masih harus sabar kita tunggu. Antahlah yuang istilah almarhum Prof. Dr. Syafei Maarif jika menutup opininya.