Jambekspres.co.id

Benarkah Dinasti Politik Membahayakan Demokrasi ? Ini Analisis Para Akademisi

JAKARTA, bungopos.com - Dinasti politik merupakan wajah baru dalam perjalanan demokrasi di negeri ini. Pemilu, pileg, pilkada kerap kali terdengar bahwa anak-anak penguasa menghiasi pencalonan.

Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iding Rosyidin, mengatakan secara konstitusi tidak ada larangan anak atau kerabat penguasa mencalonkan diri. Permasalahannya adalah dalam aspek etika politiknya. Seberapa banyak orang Indonesia yang mempersoalkan dinasti politik secara etika ? Pemilih Indonesia umumnya bukan pemilih rasional jadi tidak begitu mempersoalkan dinasti politik. 

Hanya sebagian kalangan terpelajar yang mempertanyakan politik dinasti. Karena itu para penguasa nyaman saja dengan melibatkan anak atau kerabat mereka mencalonkan diri dalam Pilkada. Tidak ada protes atau perlawanan dari masyarakat.

“Di Indonesia, orang-orang justru berpikir jika anak penguasa mencalonkan diri pasti menang, realitas masyarakat kita berpikir seperti itu karena umumnya pemilih kita tidak mempersoalkan etika politik terkait dinasti politik,” kata Iding.

Iding mendorong pendidikan politik atau literasi politik kepada warga agar saat pemilihan umum warga menjadi pemilih rasional dan kritis ketika memilih seseorang kandidat calon kepala daerah melihatnya pada kemampuan dan kelayakan, bukan hubungan kekerabatan.

“Saya kira itu masih jauh dari harapan, tapi harus terus disuarakan jangan apatis terhadap politik. Harus ada kelompok yang terus bersuara. Politik dinasti akan langgeng selama masyarakat kita belum menjadi pemilih rasional, maka politik dinasti terus berlanjut,” jelasnya.

Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, mengatakan politik dinasti pada dasarnya mengkapitalisasi kekuasaan lewat hubungan darah. Ketika itu terjadi, akan selalu ada kecenderungan melakukan praktik-praktik kotor seperti korupsi atau tindak pidana lain. 

“Pada dasarnya nature politik dinasti selalu punya kecenderungan korup karena ingin melanggengkan kekuasaan dengan hubungan darah,” ujar Egi.

Politik dinasti berpotensi merusak kompetisi demokrasi, khususnya dalam Pilkada. Menurut Egi, calon dari keluarga yang memiliki kekuasaan cenderung menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan dominasinya.

“Ketika seorang calon yang berasal dari keluarga berpengaruh maju dalam Pilkada, mereka cenderung menghalalkan segala cara, termasuk menyingkirkan calon lain,” ujar Egi dalam sebuah diskusi publik. (***)

Editor: arya abisatya
Sumber: https://www.nu.or.id/