BERJAMBI.COM - Dzun Nun al-Mishri termasuk sufi agung yang menempuh jalan tasawuf berangkat dari jalur yang unik. Sufi yang pertama kali menganalisis konsep ma’rifat secara konseptual ini mengawali kariernya di jalan tasawuf bukan karena bertemu seorang mursyid, bukan pula karena terlatih oleh kerasnya ujian hidup yang sangat dahsyat, melainkan karena seekor burung yang lemah dan tak berdaya.
Untuk diketahui, sebelum menjadi seorang hamba yang taat hingga menjadi sufi besar, Dzun Nun al-Mishri adalah sosok pemuda yang lalai dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Hingga kemudian ia disadarkan oleh Allah swt melalui pertemuannya dengan seekor anak burung. Syekh Abul Qasim al-Qusyairi dalam kitabnya ar-Risâlah al-Qusyairiyyah menjelaskan, sekali waktu Salim al-Magribi menghadiri majelis Dzun Nun al-Mishri.
Lalu ia bertanya padanya, “Wahai Abul Fayd (nama asli Dzun Nun), apa yang membuatmu bertaubat?” “Sesuatu yang menakjubkan, kau takkan mampu mendengarnya,” jawab Dzun Nun seolah memberi teka-teki. “Demi Tuhan yang engkau sembah, ceritakanlah padaku,” pinta al-Magribi.
Lantas Dzun Nun al-Mishri bercerita, “Sekali waktu aku hendak pergi dari Mesir untuk menuju ke sebuah kota, tapi aku tertidur di jalan, tepatnya di sebuah tanah lapang. Begitu aku terbangun dan membuka mata, aku melihat seekor anak burung yang jatuh dari sangkarnya. Tiba-tiba tanah terbuka dan mengeluarkan dua wadah, yang satu terbuat dari emas berisi biji-bijian simsim dan satunya lagi dari perak berisi air. Dari situlah burung kecil itu bisa makan dan minum.” “Aku pun berkata, ‘Cukup!’, dan seketika aku bertaubat. Aku terus mengetuk pintu taubat-Nya (tidak berhenti memohon) hingga Allah menerima taubatku” (Abul Qasim al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2018], h. 24).
Begitulah kiranya kisah pertaubatan Dzun Nun al-Mishri. Muhyiddin Muhammad Ali Muhammad bin Umar dalam kitabnya al-Kaukabud Durrî fî Manâqibi Dzinnun al-Mishrî menegaskan, kendati kisah di atas terkesan aneh tapi bisa dibenarkan. Sebab, peristiwa tersebut merupakan bentuk kado indah dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Hal ini sebagaimana juga ditegaskan dalam Al-Qur’an berikut:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ لَهُمُ ٱلۡبُشۡرَىٰ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۚ لَا تَبۡدِيلَ لِكَلِمَٰتِ ٱللّٰهِۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (QS Yunus [10]: 63-64) (Muhyiddin Muhammad Ali Muhammad bin Umar, al-Kaukabud Durrî fî Manâqibi Dzinnun al-Mishrî, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun], h. 14).
Ulama berbeda pendapat mengenai nama asli Dzun Nun al-Mishri. Ada yang mengatakan namanya Abul Fayd bin Ahmad, ada yang mengatakan Dzun Nun bin Ibrahim al-Ikhmimi. Ia merupakan satu dari empat putra bersaudara, yaitu Dzun Nun, Dzul Kifl, ‘Abdul Bari, dan al-Humaisa’. Ia lahir pada tahun 180 H/796 M di Ikhmim, sebuah dataran tinggi di Mesir, dan wafat pada tahun 246 H/856 M, dimakamkan di dekat makam ‘Amr bin Ash dan ‘Uqbah bin al-Harun. (***)