Oleh : Navarin Karim
Tidak banyak yang tahu secara mendalam tentang Adat Melayu Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar), namun sebagai putera yang nota bene orang tua kelahiran Kecamatan Betara Kabupaten Tanjabbar, dan nama kakek/datuk diabadikan disalah satu parit serta pengalaman pernah menginap (stay) disana. Paling tidak penulis punya ikatan emosional dengan budaya Melayu Tanjab Barat dan ingin berkontibusi dalam menggali kembali asal Melayu masyarakat Tanjabbar). Pengalaman menuju dan menginap di Kecamatan Betara memantik pertanyaan untuk menanggapi makalah salah satu penulis yang diterbitkan oleh (Lembaga Adat Jambi, 2010 : 129 -135). Pada salah satu paragaraf dikemukakan bahwa asal adat Melayu Tanjung Jabung Barat (baca dahulu: Tanjung Jabung sebelum pemekaran) berasal dari Provinsi Riau
Penulis berpandangan, tidak ada yang bisa memastikan asal Adat suatu daerah berasal tanpa ada fakta dokumen dan key informan yang dapat diwawancarai, kecual ijika ada bukti peninggalan sejarah. Menurut pengurus Lembaga Adat Jambi Datuk Hasan Basri Junain, kalaupun ada key informan yang bisa dipercaya hanya sampai batas turunan ketiga. Mencari keturunan ketiga itu tidaklah gampang untuk ditelusuri. Jadi, masih debatable sifatnya. Hal yang ingin diperdebatkan dalam penelitian ini adalah asal usul budaya Melayu Tanjabbar. Kabupaten ini sebelum dan awal-awal setelah kemerdekaan, dipastikan secara kelembagaan belum memiliki organisasi formal seperti lembaga Adat dan informan kunci yang masih hidup sebagai tempat bertanyapun sulit didapat. Dalam sebuah makalah yang berjudul Pemimpin dan Kepemimpinan Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang dibukukan oleh Lembaga Adat Jambi, tepatnya pada halaman 130 menyebutkan berkembangnya adat Melayu di Tanjung Jabung Barat karena berdampingan dengan propinsi Riau, sehingga penulis sebelumnya berani membuat pernyataan asal Adat Melayu Tanjung Jabung berasal dari Provinsi Riau. Pernyataan ini tidak dapat disalahkan dan tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Hal yang mengusik pikiran penulis karena heterogenitas suku dan daerah yang punya akses terbuka. Diperkuat lagi ditemukan adanya sebuah nama parit yang bernama Parit Deli.
Dari Tanjabbar menuju kecamatan Betara dihubungkan dengan Parit Deli dan Parit Latif. Penamaan Parit Deli tersebut konotasi dapat dihubungkan dengan suku Melayu di Sumatera Utara yaitu Melayu Deli. Siapa yang tak kenal dengan sebutan Melayu Deli terutama dengan lagu-lagunya dan kepiawaian masyarakat Melayu Deli dalam berpantun. Jika melihat heterogenitas penduduk di Kecamatan Betara, muncul dugaan penulis bahwa masyarakat perantauan Deli di masa silam pernah berlabuh dan menetap di kecamatan Betara. Bagaimana tidak, masyarakat Melayu Deli dikenal pula sebagai pelaut-pelaut yang pemberani. Ketika masa penjajahan bisa saja mereka demi mencari ketenangan hidup dari ancaman dan tindakan agresi penjajah, mereka hijrah ke tempat yang sangat sepi dan belum ada penduduk di lokasi tersebut ketika itu. Jadi tidak tertutup kemungkinan masyarakat Melayu yang berasal dari kabupaten Deli Provinsi Sumatera Utara dan tiga abad terakhir Deli terjadi dikhotomi yaitu Melayu Deli dan Melayu Deli Serdang.
Siapa yang memberi penamaan Parit Deli, masih misteri yang belum terungkap. Apalagi daerah Tanjung Jabung merupakan daerah pantai dan terbuka untuk didatangi penduduk dari suku mana saja. Bukankah penamaan suatu daerah dan atau tempat dapat dihubungkan dengan aspek antropologi? Makin memperkuat keyakinan penulis keberadaan masyarakat yang sangat heterogen di Kabupaten Tanjabbar, karena berbagai daerah dapat masuk kesana melalui sungai. Di Tanjabbar terdapat berbagai suku diantaranya suku Bugis, Banjar, Jawa, Sunda, Minang, Batak dan etnis keturunan Tionghoa dan keturunan India. Bahkan keturunan India pernah menjadi Bupati Tanjab Barat di era reformasi. Mereka berkomunikasi secara lintas kesukuan dengan menggunakan Bahasa Melayu. Sebagai bukti tambahan bahwa Tanjung Jabung Barat merupakan masyarakat Heterogen adalah orang tua peneliti utama merupakan penduduk domisili Tanjabbar. Bapak penulis kelahiran Kecamatan Betara dan kakek/orang tuanya berasal dari Banjarmasin. Beliau itulah yang bernama Latif, yang konon namanya diabadikan untuk sebuah parit. Sementara ibu penulis kelahiran pulau Bintan (Tanjung Pinang), sehingga diberi nama Nurbintan (yang berarti cahaya pulau Bintan) , sementara nenek dan kakek saya berasal dari kabupaten Solok Sumatera Barat. Kedua orang tua penulis dipertemukan dan menikah di Tanjabbar.
Terjadi dikhotomi Melayu di Tanjabbar ditinjau dari asal suku. Melayu Timur berasal dari suku Moro, hingga kini bukti masih ada di Sabak Kabupuaten Tanjab Timur. Kemudian Melayu Barat terdiri dari suku Banjar, Bugis dan Riau. Inilah yang mendominasi Tanjabbar. Pemekaran Tanjung Jabung menjadi Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur, selain berdasarkan dominasi suku, juga karena ketentuan jumlah penduduk dan luas wilayah (territorial). Di Tanjung Jabung Timur dikenal sebutan Melayunya adalah Melayu Bugis, disamping suku Melayu, suku bugis banyak berdomisili disana.
Sebagian besar masyarakat awam di kota beranggapan kata parit hanya semacam tempat air mengalir yang tidak terlalu lebar dan tidak dapat dilewati perahu, speed boat dan sejenisnya karena luasnya yang sempit, apalagi jika musim kemarau ada parit yang kekeringan air. Namun berbeda dengan pengertian parit di Tanjabbar. Paritnya cukup luas sehingga bisa dilewati bukan hanya perahu, tetapi juga dapat dilewati speed boad karena kedalaman paritnya. Parit lebih dimaknai sebagai anak sungai. Kuat dugaan yang memberi nama Parit Deli adalah suku Melayu Deli nama dianggap orang sakti yang berjasa membuka keterisoiliran kecamatan Betara.
Alasan ini diperkuat dengan satu lagi nama parit yang dapat dilalui menuju Batara adalah parit Latif. Latif kebetulan adalah datuk/kakek penulis. Nama orang tua (ayah) penulis adalah Karim Latif, Nama akhirnya (last name): Latif. Nama tersebut diabadikan pada salah satu parit yang harus ditempuh menuju Kecamatan Betara Kabupaten Tanjabbar. Datuk Latif dulunya adalah penghulu yang disegani di Kampung Batara. Makamnya berada disamping mesjid yang ukurannya paling besar diantara kuburan lainnya. Ini menandakan beliau berperawakan besar. Setelah beliau meninggal namanya diabadikan untuk sebuah parit. Konon katanya orang-orang dulu yang diabadikan namanya karena charisma dan atau dianggap memiliki kelebihan/kesaktian. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan sepupuan penulis (H.Zainal) yang tinggal di kampung Nelayan Tanjabbar. Berdasarkan tulisan yang diterbitkan Lembaga Adat Jambi tersebut. Penulis menduga ada juga pengaruh dari Melayu Deli, karena temuan penulis nama Parit Deli di kecamatan Betara Kabupaten Tanjabart Dugaan peneliti digarisbawahi Bapak Drs. Hatam Tafsir salah seorang pengurus Lembaga Adat Melayu Jambi, mengemukakan tidak tertutup kemungkinan asal adat Melayu Tanjung Jabung Timur bukan hanya (ansich) berasal dari Provinsi Riau. Bahasa Melayu Riau dan Melayu Deli juga ada kemiripan, demikian juga pakaian adatnya. Mudah-mudahan novelty penulis ini dapat diteliti lebih mendalam oleh Lembaga Adat Tanjabbar dan akademisi yang berlatar belakang budaya.