Mohd Haramen

#Ramadhan6(Enam) : Hidup Bersahaja

Oleh : Mohd Haramen, SE, ME.Sy

DI ERA KINI,  sulit rasanya mencari sosok pejabat publik yang hidup bersahaja. Kultur kapitalisme telah merasuki sendi-sendi kehidupan manusia. Terkadang seorang dihargai bukan karena kepintarannya, tapi karena kekayaan yang dimiliki. Seringkali publik beranggapan 0rang yang hidupnya kaya raya dianggap cerdas, sehingga segala ungkapannya jadi panutan. Tetapi, orang pintar yang hidup bersahaja dianggap bodoh sehingga ungkapannya dianggap angin lalu.  Padahal, Napoleon Bonaparte, Kaisar besar Perancis, pernah menyampaikan  ungkapan,  “Kesahajaan adalah dasar segala moral dan kebajikan utama manusia. Tanpa kesederhanaan, manusia tidak ada bedanya dengan binatang.

BACA JUGA: #RAMADAN5 (Lima): Merajut Integritas

Di era perjuangan, banyak sekali pejabat yang hidup bersahaja. Salah satunya adalah mantan Menteri Agama RI (1962 – 1967),  KH Saifuddin Zuhri.  Dirinya terkenal sebagai sosok yang sederhana. Selain menolak rumah dinas, juga selepas jadi Menteri pernah  berdagang beras di Pasar Glodok. Karena uang pensiunnya tidak cukup menghidupi keluarganya.

Pria kelahiran 1 Oktober 1919 di Kampung Kauman, Desa Sokaraja Tengah, Kawedanan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah ini memang istimewa.  Suatu kali adik iparnya, Mohammad Zainuddin Dahlan, menghadap Saifuddin di Departemen Agama. Dia memohon untuk dihajikan dengan biaya dinas dari pemerintah. Zainuddin tergolong pejuang kemerdekaan dan kondisi perekonomiannya layak dibantu. Tapi Saifuddin memutuskan menolak permintaan iparnya tersebut.

BACA JUGA: #Ramadhan 4 (Empat) : Membumikan Keadilan

“Ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan,” ujar KH Saifuddin Zuhri kepada iparnya, seperti ditulis Rohani Sidiq dalam buku ‘Ulama Pejuang Kemerdekaan’.

Bagi KH Syaifuddin, hidup sahaja adalah pertempuran antara akal dan nafsu. Hasrat untuk hidup berlebih dan mengakumulasi  kekayaan adalah syahwat keburukan. Tugas akal adalah mengendalikan hasrat tersebut. Jika gagal, segala ikhwal yang berupa kejahatan, kelicikan, kekejaman, kebiadaban, dan keculasan pasti terjadi.

BACA JUGA: #RAMADHAN 3 (TIGA) : Hamba Spritual

Rasulullah pernah bersabda: “Kekayaan yang hakiki adalah kelimpahan iman dan dicerminkan dalam sifat qanaah.” Sifat qanaah/kanaah sangat dijunjung oleh Islam. Rasulullah selalu menganjurkan rela menerima dalam kehidupan, yakni merasa cukup dengan yang dipunyai. Sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah ialah rizki yang wajib disyukuri. Siti Aisyah, istri Rasulullah SAW, berucap: ”Kadang-kadang sampai sebulan penuh terlewati tanpa api menyala di dapur kami. Kami hidup hanya dengan kurma dan air putih.”  Meski seluruh sahabat Nabi yang miskin (Ahlus Shuffah) ditanggung seluruh biaya hidupnya oleh Rasulullah SAW. Nabi selalu mengerjakan perkara yang diyakini, dipikirkan, dan diucapkan. Pesan ini pula yang diilhami melalui mengerjakan puasa ramadan.  Ramadhan mengajarkan kita untuk hidup bersahaja meski kelebihan harta.

 

(Penulis adalah Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Kemendes PDTT RI untuk wilayah Kabupaten Batanghari yang juga pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kota Jambi)

Penulis: Mohd Haramen
Editor: Arya Abisatya



Berita Terkait