Mohd Haramen

#Ramadhan 4 (Empat) : Membumikan Keadilan

Oleh : Mohd Haramen, SE, ME.Sy

 

Dikisahkan dalam ‘The Great of Two Umars’, sejak menjadi Gubernur Mesir, Amr ibn al-Ash menempati istana megah yang di depannya terdapat  gubuk reot milik seorang Yahudi tua yang merusak pemandangan. Suatu ketika Amr bin al –Ash hendak mendirikan masjid dengan merobohkan gubuk milik yahudi tersebut. Sang Yahudipun tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu mengadukan perihal ini kepada khalifah Umar bin Khattab di Madinah.

Setibanya di Madinah, si Yahudi bertanya istana sang Khalifah? Usai ditunjukkan, Yahudi kaget karena sang Khalifah tidak punya istana. Bahkan, dia diterima sang Khalifah di halaman Masjid Nabawi di bawah pohon kurma.

Si Yahudi itu pun mengutarakan keinginannya meminta keadilan kepada khalifah Umar atas perlakuan Gubernur Amr ibn al Ash  yang merobohkan gubuknya semena-mena. Mendengar itu Umar marah besar. Lalu menyuruh si Yahudi mengambil sepotong tulang dari tempat sampah. Lalu, Umar menggores huruf alif dari atas ke bawah, lalu memalang di tengah-tengahnya dengan ujung pedang pada tulang tersebut. Kemudian, tulang itu diserahkannya kepada si Yahudi untuk diberikan kepada Amr ibnu al Ash.

Setibanya di Mesir,  sang Yahudi menyerahkan tulang tersebut kepada sang Gubernur. Begitu Amr menerima tulang itu, mendadak tubuhnya menggigil dan wajahnya pucat ketakutan. Kemudian Gubernur memerintahkan  bawahannya membongkar masjid dibangun tersebut, lalu dibangun kembali gubuk Yahudi itu. Hanya saja sebelum masjid baru dirobohkan, si Yahudi berkata, “Maaf Tuan, Mengapa Tuan sangat ketakutan dan langsung membongkar masjid baru itu, begitu Tuan menerima sepotong tulang dari Khalifah Umar?”

“Wahai orang Yahudi,” jelas Amr, “Ya, tulang itu berisi ancaman Khalifah. Seolah-olah beliau berkata, ‘Hai Amr ibn al-Ash! Ingatlah, siapa pun kamu sekarang dan betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk, karena itu bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus, adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab jika kamu tidak bertindak demikian pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu!”

Si Yahudi itu tertunduk dan begitu terharu mendengar penuturan sang Gubernur. Akhirnya si Yahudi memeluk Islam, lalu menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai wakaf.


Terkadang permasalahan yang datang seringkali membuat semua orang terombang ambing antara harapan dan keputusasaan. Jika saat Imsak harus memulai puasa, maka kita masih bisa tenang. Karena saat petang pasti waktu berbuka tiba. Disini, modalnya cukup niat dan keyakinan. Yakin bahwa setelah berlapar dahaga, kebahagiaan saat berbuka pasti datang jua.

Namun, ketika terhimpit beban hidup, sembako mahal, minyak sayur dibatasi, pendapatan makin berkurang, sawah disapu banjir, maka pandangan kedepan menjadi suram.

Jika nasib semacam itu dialami karena khilaf pribadi mungkin bisa diterima. Tapi jika dikarenakan hasrat para pengusaha menumpukkan barang demi mendapatkan kekayaan itu sebuah kesalahan. Maka obatnya, ialah tegakkan keadilan penguasa seperti yang dilakoni Umar. Karena menurut Ibnu Kholdun, Pemerintah adalah lembaga yang mencegah ketidakadilan selain yang dilakukannya sendiri
Tapi bila mahalnya harga sembako akibat  kebijakan pemerintah yang salah, maka kemuliaan konstitusi negara mesti dihadirkan untuk mengembalikan marwah kepentingan publik.

Di sinilah hakikat puasa ditinggikan, bukan lagi semata menunda kelezatan ragawi. Tapi juga pembersihan rohani agar keadilan sosial bisa membumi.

 

(Penulis adalah Koordinator Laskar Santri Nusantara Provinsi Jambi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penulis: Mohd Haramen
Editor: Arya Abisatya