JAKARTA, bungopos.com - Mimpi buruk yang diprediksi sejak Covid-19 melanda dunia, kini mulai terjadi. Ancaman itu adalah resesi ekonomi. Adalah dua negara industri maju anggota G-7, Jepang dan Inggris, yang menjadi korban awal. Kedua negara itu, pekan lalu resmi mengalami resesi.
Dalam laporan terakhir, PDB Jepang terkontraksi 0,4% pada kuartal empat 2023 dan 3,3% pada kuartal tiga 2023. Laporan PDB terbaru itu jauh meleset dari perkiraan pertumbuhan 1,4% dalam jajak pendapat para ekonom Reuters.
Secara kuartalan (quarter to quarter/qtq), PDB turun 0,1%, dibandingkan dengan perkiraan kenaikan 0,3% dalam jajak pendapat Reuters. Sementara itu, Inggris tergelincir ke dalam resesi setelah ekonomi mereka terkontraksi (quartal to quartal/qtq) pada kuartal III dengan -0,1% dan IV sebesar -0,3% di 2023.
Dalam catatan Dana Moneter Internasional (IMF), perlambatan ekonomi pascapandemi Covid-19 masih akan berlanjut di sepanjang 2024. Kecenderungan melambatnya pertumbuhan ekonomi itu, masih merujuk pandangan IMF, akan terjadi di beberapa negara lain, termasuk Tiongkok dan Amerika Serikat (AS).
Tahun 2024, IMF memperkirakan ekonomi AS hanya tumbuh 1,6 persen, atau turun dari pertumbuhan 2023 yang dua (2) persen, sedangkan ekonomi Tiongkok per 2024 diperkirakan tumbuh 4,5 persen, atau turun dari pertumbuhan 2023 yang tercatat 5 persen.
Antisipasi Indonesia
Ketidakpastian ekonomi global itu jelas menjadi perhatian dunia. Banyak negara waspada, termasuk Indonesia. Cepat atau lambat, tentu akan memengaruhi kinerja perekonomian nasional. Oleh karenanya, kondisi ekonomi dunia yang jelas tidak dalam kondisi baik itu, patut menjadi pelajaran dan sekaligus sebagai pijakan untuk mengambil kebijakan yang tidak merugikan ekonomi nasional ke depan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mewakili pemerintah, memperlihatkan kinerja perekonomian Indonesia dan APBN KiTA dalam tren positif. Hingga Januari 2024, pendapatan negara sudah terkumpul Rp215,5 triliun atau 7,7 persen target, belanja negara Rp184,2 triliun atau 5,5 persen pagu, dan APBN masih surplus Rp31,3 triliun atau 0,14 persen produk domestik bruto (PDB).
Selain kinerja APBN yang ciamik, Menkeu melalui akun Instagram resminya juga tidak lupa memperlihatkan indikator positif perekonomian Indonesia dari 2023 yang tetap berlanjut hingga awal 2024. Kinerja positif itu karena didukung kuatnya permintaan domestik, konsumsi, dan investasi.
"Per Januari 2024, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) terjaga di 125; Mandiri Spending Index (MSI) 40,0; Indeks Penjualan Riil (IPR) 3,7 persen yoy; dan PMI Manufaktur Indonesia konsisten ekspansi selama 29 bulan berturut-turut," tulis Sri Mulyani melalui unggahan di pertengahan Februari 2024.
Tren kuat ekonomi Indonesia itu jelas berbanding terbalik dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang masih dibayangi pelemahan. IMF misalnya memprediksi ekonomi tumbuh 3,1 persen, sedangkan World Bank memprediksi 2,4 persen. Ini lebih rendah dari kinerja perekonomian global 2023.
“Perekonomian global 2024 diperkirakan masih dalam posisi yang lemah, di mana meskipun inflasi mengalami moderasi atau penurunan, namun belum serta merta menurunkan suku bunga yang melonjak cukup tinggi dalam 18 bulan terakhir,” kata Menkeu dalam Konferensi Pers APBN Kita Februari 2024 secara daring pada Kamis (22/2/2023).
Meski kondisi ekonomi Indonesia relatif baik dibandingkan kelompok negara G20 maupun ASEAN, Menkeu Sri Mulyani mengakui, situasi global yang masih rentan dan penuh risiko masih tetap perlu diwaspadai. “Pelemahan global dan tren harga komoditas yang melemah tentu harus kita waspadai karena akan berpotensi mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia alhamdulillah selama periode 2023 masih bisa bertahan di 5 persen atau dalam hal ini 5,05 persen. Ini karena kuartal empat tetap terjaga di atas 5 persen,” ujar Menkeu dalam situs resmi Kemenkeu sebagaimana disimak redaksi www.indonesia.go.id.