JAMBI, bungopos.com - Jual beli merupakan bagian dari kegiatan yang rutin dilakukan masyarakat setiap hari. Dari sebagian barang yang dijual, terkadang ada barang ilegal atau black market (BM) yang tentu melanggar aturan pemerintah. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana hukumnya menjual atau membeli barang ilegal?
Sebelum masuk ke dalam ranah tersebut, ada baiknya diingatkan kembali mengenai syarat-syarat sah transaksi jual-beli yang akan menentukan sahnya jual-beli.
Pertama, kesucian produk. Kedua, bisa diambil manfaatnya. Ketiga, bisa dikuasai. Keempat, mampu untuk menerima produk ketika akad. Kelima, bentuk, ukuran maupun sifat produk diketahui oleh penjual dan pembeli. Demikian syarat sah jual beli di kalangan Syafi’iyah.
BACA JUGA: Mau Shalat Ghaib untuk Korban Konflik di Palestina ? Ini Tata Caranya
Lalu bagaimana dengan barang yang masuk ke Indonesia secara ilegal? Jual-beli produk ilegal jelas tidak sah. Karena syarat keempat tidak terpenuhi. Pasalnya, kemampuan kedua pihak untuk serah-terima produk gagal terpenuhi karena terhalang oleh regulasi cukai pemerintah Indonesia.
Sebuah keterangan dalam kitab Hasyiyatul Bujairimi alal Iqna’ menyebutkan,
فقد قال المتولي: لو احتمل قدرته وعدمها لم يجز كما ذكره الحلبي
“Al-Mutawalli mengatakan, andaikata kemampuan dan ketidakmampuan serah-terima produk itu berdiri setara, maka jual-beli tidak boleh (tidak sah). Demikian dikutip al-Halabi.”
Selain karena ketidakmampuan serah-terima, kehadiran produk ilegal atau BM tidak bisa diterima syar’i seperti halnya uang palsu. Peredaran produk ilegal berimbas pada rusaknya pasar. Sementara itu ada keharusan agama untuk melindungi produk lain yang bersaing secara sehat melewati prosedur. Banjirnya produk ilegal, bisa merusak pasar dalam negeri, surplus, dan lainnya yang berdampak sistemik.
BACA JUGA: Ojek Online Pria Membonceng Perempuan Bukan Mahram, Bolehkah ? Ini Ulasannya
Untuk transaksi BM seperti barang elektronik, juga terbilang tidak sah karena beberapa hal di atas. Selain itu, transaksi produk BM berupa elektronik mengandung gharar (ketidakpastian) di mana tidak ada jaminan atau garansi. Ketika hendak menuntut karena adanya kerusakan barang misalnya, tidak ada jalan ke arah hukum positif karena barang tersebut ilegal.
Yusuf Qorodlowi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam mengatakan:
وكل عقد للبيع فيه ثغرة للتنازع بسبب جهالة في المبيع لأنه غرر يؤدي إلى الخصومة بين الطرفين أو غبن أحدهما الآخر فقد نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم سدا للذريعة
“Setiap akad jual-beli yang mana membuka ruang sengketa dengan sebab ketidakjelasan barang, maka masuk dalam gharar yang membawa pada pertikaian antara dua pihak atau penipuan satu sama lain. Rasulullah SAW melarang transaksi seperti ini dengan alasan preventif atas hal-hal yang tidak diinginkan.”
(Tim Layanan Syariah, Ditjen Bimas Islam)