Jambekspres.co.id

Bagi Anak Yang Dilahirkan Tanpa Ikatan Pernikahan Atau Hamil Dulu Baru Nikah, Begini Hak Waris dan Wali Pernikahannya

JAMBI, bungopos.com - Hamil diluar nikah terkadang menjadi fenomena di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, bisa jadi karena pergaulan bebas, perselingkuhan atau kasus perkosaan. Dampak yang timbul tentunya bukan sekedar pelanggaran normal susila, tetapi bisa jadi kehamilan yang dialami pihak wanita.

Padahal menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 42 disebutkan, anak yang sah adalah anak yang lahir akibat perkawinan yang sah. Lantas bagaimana dengan anak yang dilahirkan tanpa hubungan perkawinan ? Siapa yang berhak menjadi walinya ? Apakah bisa mewarisi dikemudian hari atau tidak ? Berikut uraiannya antara lain : 

1. Berdasarkan Hadist Rasulullah SAW

Diriwayatkan Imam al-Bukhâri, no. 6749 dan oleh Imam Muslim, No 4171 yang berbunyi dari Aisyah Radhiyallahu anhuma. Dimana dalam hadist yang panjang tersebut Rasulullah SAW bersabda : " Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut).

 

2. Berdasarkan Pendapat Para Ulama.

Para ulama mengkategorikan beberapa keadaan anak yang lahir diluar nikah. 

  1. Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil

Berdasarkan kesepakatan ulama, anak yang terlahir berdasarkan hasil dari hubungan sexual non marital, maka status anak tersebut dinasabkan sebagai anak ibu dan tidak dinasabkan kepada ayahnya.

Hubungan dengan bapak biologisnya terputus, termasuk secara hukum kewarisannya. Ia hanya berhak mewarisi dari ibunya dan sebaliknya, ibunya berhak mewarisinya.

Kemudian yang berhak menjadi wali nikah ketika ia menikah adalah wali hakim, karena ia tidak dapat dinasabkan kepada bapak biologisnya.

  1. Apabila terjadi sumpah li’an antara suami dengan istri

Pengertian sumpah liàn yakni sumpah seorang suami dan istri dengan nama Allah dimana sang suami menuduh istrinya berzina atau tidak mengakui anak yang dikandung atau dilahirkan istrinya sebagai anaknya.  sedangkan istri menolak tuduhan tersebut.

Biasanya hal ini terjadi karena suami berprasangka atau menuduh bahwa istrinya selama pernikahannya masih berlangsung dengannya telah berselingkuh dan melakukan perbuatan zina dengan laki-laki lain sehingga mengakibatkan kehamilan. Atau bisa saja karena suami benar-benar mengetahui bahwa istrinya telah berselingkuh dan berzina dengan laki-laki lain akan tetapi ia tidak memiliki bukti maupun saksi, sedangkan istri menyangkal tuduhan bahwa kehamilannya diakibatkan perzinahan tersebut.

Status dari anak tersebut dinasabkan pada ibunya. Sehingga hak kewarisan hanya timbul antara ibu dan anak tersebut. Sedangkan wali nikah anak perempuan tersebut nantinya adalah wali hakim.

  1. Apabila istri melakukan hubungan sexual dengan laki-laki lain saat pernikahan masih berlangsung lalu lahir anak 

Ketika istri berhubungan sexual dengan laki-laki lain, baik diketahui atau tidak hingga mengakibatkan ia hamil lalu melahirkan, status anak yang lahir nantinya dinasabkan kepada suami yang sah, bukan kepada lelaki selingkuhan istri.

Sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak perempuan tersebut nantinya adalah ayahnya (suami dari ibunya). Kemudian karena masih dinasabkan kepada ayahnya maka anak perempuan tersebut berhak mewaris dari ayah ibunya dan begitu juga sebaliknya.

  1. Apabila seorang wanita berhubungan sexual di luar nikah, kemudian hamil dan dinikahi oleh lelaki yang menghamilinya.

Dalam kasus ini, status anak yang nantinya lahir dinasabkan kepada ibunya. Karena suami istri tersebut menikah setelah istri hamil duluan. Meskipun demikian laki-laki tersebut tetap dapat dikatakan sebagai bapak biologis anak tersebut, akan tetapi tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya.

Oleh karenanya, yang berhak menjadi wali nikah ketika anak perempuan tersebut menikah adalah wali hakim. Berdasarkan Kompilasi hukum Islam yang menyatakan  sebagai berikut :

Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam

  • Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
  • Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
  • Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir

Terkait hak kewarisan, karena hanya dinasabkan kepada ibunya, anak perempuan tersebut hanya dapat saling waris mewaris dengan ibunya.

  1. Apabila seorang perempuan melakukan hubungan sexual non marital kemudian hamil lalu menikah dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya

Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Adapun kedua pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

  • Pendapat pertama mengatakan boleh dan halal dinikahi. madzhab Imam Syafi’i rahimahullah dan Imam Abu Hanifah rahimahullah beralasan bahwa perempuan tersebut hamil karena hubungan sexual non marita bukan dari hasil nikah, padahal kita sudah ketahui bahwa menurut syara, tidak menganggap sama sekali anak yang lahir dari hasil hubungan sexual non marital. Oleh karena itu halal bagi lelaki lain itu untuk menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan. Hanya saja, imam Abu Hanifah menyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut melahirkan.
  • - Pendapat kedua mengatakan haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan. Inilah yang menjadi madzhab Imam Ahmad  dan Imam Malik. Dan madzhab yang kedua ini lebih kuat daripada madzhab pertama dan lebih mendekati kebenaran.

Status anak yang lahir nantinya dinasabkan pada ibunya saja. Sehingga yang berhak menjadi wali nikah ketika anak perempuan tersebut nanti menikah adalah wali hakim. Kemudian hak kewarisan hanya timbul antara anak dan ibu.

  1. Apabila anak terlahir dari akad nikah yang fasid atau batil

Yang dimaksud akad nikah yang fasid atau batil adalah akad nikah yang diharamkan syariat. Atau salah satu rukun nikah tidak terpenuhi sehingga menyebabkan akad nikah tidak sah. Misalnya : menikah dengan mahram, saudara sepersusuan, istri bapak atau anak atau mertua atau dengan anak tiri yang ibunya sudah digauli, nikah mut'àh, nikah dengan lebih dari empat wanita, nikah tanpa wali, dan sebagainya.

Dalam kondisi ini, dikategorikan menjadi :

  1. Apabila keduanya, suami-istri tidak mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut tetap dinasabkan kepada suami. Sehingga suami berhak menjadi wali nikahnya dan hak kewarisan timbul olehnya.
  2. Apabila keduanya mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut hanya sebagai anak ibu. Sehingga yang berhak menjadi wali ketika anak tersebut menikah adalah wali hakim dan hak kewarisan hanya timbul antara ibu dan anak.
  3. Apabila hanya suami yang mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepadanya. Sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak tersebut adalah wali hakim dan hak kewarisan hanya timbul antara ibu dan anak.
  4. Apabila hanya istri yang mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut tetap dinasabkan kepada suaminya. Sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak tersebut adalah suami dan hak kewarisan timbul olehnya.

Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 yang  menyatakan bahwa “Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkan untuk :

a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut,

b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

Ditegaskan juga dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang merupakan bagian dari reformasi hukum, si anak dapat mempunyai hubungan yuridis dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum (misalnya tes DNA).

Demikianlah beberapa keterangan terkait anak diluar nikah. Semoga bermanfaat. 

Editor: Arya Abisatya
Sumber: https://pa-surakarta.go.id/