ILUSTRASI : Pernikahan

Sahkah Perceraian Dibawah Tangan ? Ini Penjelasan Berdasarkan UU Perkawinan No.1 tahun 1974

 

JAMBI, bungopos.com - Perceraian adalah salah satu sebab dan cara berakhirnya perkawinan. Baik  yang terjadi atas kehendak dari suami ataupun permintaan dari istri. Menurut etimologi talak berarti melepaskan ikatan.

Menurut terminologi yaitu melepas tali nikah dengan lafal talak atau semakna. Adapun dalam Sunnah banyak sekali hadistnya, diantaranya sabda Nabi SAW.:

halal yang paling dimurka Allah adalah talak.”

Ibnu Umar meriwayatkan bahwa ia menalak istrinya yang sedang menstruasi. Talak seperti ini dinamakan dengan talak bid’ah

Ulama sepakat bolehnya talak, ungkapannya menunjukkan bolehnya talak sekalipun makruh. 

Walaupun perceraian merupakan urusan pribadi, baik atas kehendak bersama atau kehendak salah satu pihak perlu campur tangan negara untuk menertibkan. Hal ini menghindari maraknya angka perceraian di bawah tangan dan juga demi kepastian hukum. Lantas bagaimanakah pandangan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ? Ini penjelasannya. 

 

Dalam pasal 39 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa :

perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturaan perundangan sendiri. Baik pada Klausul pasal 39 dalam Undang-undang Perkawinan juga terdapat dalam pasal 65 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006,yaitu:

perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”

Sementara dalam KHI juga terdapat penguatan terhadap undang-undang di atas, dalam pasal 115 KHI menyatakanbahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil medamaikan kedua belah pihak

Putusnya perkawinan,menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 113,kemudian diuraikan lagi dalam pasal 114,dengan rumusan:

“putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.”

Sedangkan Pengertian talak dalam pasal 114 tersebut dapat dijelaskan lagi dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130, dan 131.

Perceraian dibawah tangan juga menimbulkan akibat sebagai berikut :

(1) Akibat terhadap istri:

[a] tidak dapat melakukan perkawinan dengan orang lain di KUA;

[b] tidak dapat menutut biaya hidup melalui pengadila agama;

[c] sulit menadapatkan harta bersama.

 

(2) Akibat terhadap suami:

[a] tidak dapat melakukan perkawinan dengan orang lain di KUA;

[b] sulit untuk mendapatkan harta bersama.

 

(3) Akibat terhadap anak, adalah sulit untuk mendapatkan bagian terhadap bagian harta warisan

Berdasarkan penjelasan dari UU Perkawinan dapat disimpulkan bahwa perceraian dibawah tangan,  sah menurut agama, tetapi belum sah secara hukum Negara karena belum dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Akibat dari perceraian yang dilakukan diluar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami istri tersebut belum putus secara hukum, atau dengan kata lain, baik suami istri tersebut masih tercatat sebagai suami istri. Dan tidak bisa melakukan perkawinan di KUA.

 

 

Penulis: Dewi Patimah, Hermanto Harun, Ansusa Putra
Editor: Arya Abisatya
Sumber: https://shariajournals-uinjambi.ac.id/index.php/nalarfiqh/article/view/1433/719