Fenomena pemimpin muda makin menggejala, bahkan boleh dikatakan makin menggila. Mengapa baru-baru ini sampai diangkat kepermukaan usia minimal calon pemimpin nasional ? Kasus Gibran Rakabuming Raka sebagai balon wakil Presiden pun sampai uji banding ke Mahkamah Konstitusi. Jelas debatable. Bukan saja soal usia dipersoalkan , tetapi kemampuan decision making pun jadi taruhan. Dari manager martabak meloncat jadi pemimpin daerah, mau meloncat lagi menjadi pemimpin nasional. Piye tokh ! Tatanan yang sudah diatur sebelumnya dilabrak, seolah sudah konvensional alias kuno.
Gembar gembor kearifan local seolah isapan jempol dan diabaikan begitu saja. Padahal demokrasi Pancasila dalam musyawarah mufakat hakikinya lebih mengedepankan senioritas dalam memilih pemimpin. Sikap permisive mengabaikan kearifan local ini berawal di pemerintahan, pemimpin level lower, middle dan top manager lebih berdasarkan sepaham ketimbang the right man on the right place. Belum lagi tatanan Daftar Urut Kepangkatan (DUK), seolah sudah mati. Padahal konsep ini disusun setengah mati oleh mantan ketua Lembaga Administrasi Negara (LAN) yaitu AE. Manihuruk. Ganti rezim gantilah semua tatanan, walau sudah bagus. Tidak ada lagi arti makna pelatihan penjenjangan jabatan yang diadakan Lembaga pemerintahan seperti Diklat (Pendidikan dan Latihan) atau Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional). Begitu pentingnya bekal kepemimpinan sehingga perlu pelatihan berjenjang dari lower manajer, middle manager hingga Top Manager.
Pimpinan tertinggi dibekali dulu dengan kemampuan memimpin. Leader itu penentu dalam pengambil keputusan. Karakter pribadi yang menentukan, bukan dipengaruhi oleh kiyai langitan (keputusan berdasarkan intuisi mbah, bapak, etc). Pada awal reformasi Istilah Baperjakat dipelesetkan menjadi Badan Pertautan Jauh Dekat), karena DUK dianggap tidak lagi jadi referensi. Yang penting sepaham, karena nepotisme, tekanan partai pendukung, atau terang-terangan pribadi yang bersangkutan pasang badan memberi dukungan. Pegawai netral dan terindikasi tidak mendukung kandidat terpilih, secara sepihak dinonjobkan.
Dalam buku Filsafat Administrasi karangan Prof. Dr. SP. Siagian, MPA. dicantumkan bahwa menjadi lower Manager diperlukan 75 % kemampuan teknis (tehnical Skill) dan 25 % kemampuan kepemimpinan (managerial skill). Untuk middle manager dituntut 50 % tehnical skill dan 50 % managerial skill. Selanjutnya untuk Top Manager diperlukan 75 % managerial skill dan hanya 25 % kemampuan teknis. Filosofisnya kemampuan managerial skill itu didapat begitu saja melalui pendidikan, tetapi lebih kepada pengalaman empiris seseorang, makanya memimpin itu dikatakan sebagai seni. Sedangkan 25 % kemampuan teknis dituntut, agar pimpinan tidak dibohongi bawahan.
Kasus Kaesang PangarepMenelisik kasus Kaesang Pangarep anak muda yang menjadi pimpinan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), jelas-jelas penerapan politik pragmatis. Tanpa melalui mekanisme jelas dalam Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT),ujug- ujug jadi pimpinan partai. Ini jelas tidak elok bagi pendidikan politik dan perubahan menjadi lebih baik. Budaya Jawa “alon-alon waton kelakon” tinggal jargon saja, yang akan dilupakan. Padahal budaya ini mengingatkan kita kepada Standar operasional, yaitu ikuti mekanisme.
Justifikasi PSI menetapkan Kaesang Pangarep menjadi pimpinan partai adalah untuk menarik perhatian kalangan milenial karena pemilih milenial keberadaannya hampir mendekati 40 %. Diharapkan lebih lanjut setelah Kaesang jadi pimpinan partai, dapat mengarahkan pemilih milenial mendukung Prabowo, bukankah sebelumnya Kaesang pernah menggunakan kaos bergambar Prabowo? Paling tidak, memperkuat dukungan kepada poros Projo. Namun sangat menyesatkan. Memilih tidak lagi berdasarkan idiologi, seolah
idiologi mati dalam domain politik. Milinial diajar tidak lagi punya prinsip yang kuat. Bukankah differensial dari idiologi adalah prinsip? Kalau diterima sebagai anggota partai tidak masalah, atau ditunjuk pada Devisi Milineal mungkin lebih cocok. Beliau bisa dimanfaatkan sebagai Vote Getter, tapi jangan ujug-ujug Pimpinan Partai. Beliau masih sangat muda, masa muda seharusnya lebih banyak belajar melalui pengkaderan. Ada adagium barat yang mengatakan “Too young to be leader”. Usia baru 28 tahun. Apakah ingin mencontoh bung Karno? Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada usia 25 tahun, dan bung Hatta mendirikan Perhimpunan Indonesia usia 26 tahun. Namun nuansa berbeda, masa perjuangan ketika itu atas inisiatif sendiri. Kaesang jadi pemimpin partai karena indokrinasi Bapak atau didaulat oleh PSI.
Tentunya PSI berharap teori Harold D. Laswell : who gets what, when and how akan diterapkan. Paling tidak adalah jabatan Menteri didistribusikan dan dialokasikan jika Prabowo menang. Mau jadi pimpinan partai sekarang minimal sudah tahu tentang fungsi Partai terutama fungsi Artikulasi dan Agregasi Kepentingan. Allahu alam bisawab. Saya belum bisa menjawab, karena beliau baru pengalaman sebagai pemimpin bisnis martabak.
Penulis malah lebih simpati dengan cara yang dilakukan Soesilo Bambang Yudhoyono ketika sebagai Presiden Republik Indonesia. Beliau mengkaderkan anaknya Edy Baskoro Youdhoyono dari anggota partai terus menjadi Sekretaris DPD Partai Demokrat Jawa Timur. Demikian juga dengan Agus Hari Mukti Youdhoyono sebelum memimpin Partai diberi tugas sebagai Komando Tugas Bersama (Kogasma)untuk pemenangan Pileg 2019. Berarti masih ada tangga yang dilangkahinya, seperti istilah adat Jambi “naik berjenjang, turun bertanggo”, arti politisnya : masih ada pengkaderan politik yang dilalui.