JAMBI, bungopos.com– Bukan judi online, namun ada satu jenis judi yang pernah resmi dan diizinkan oleh pemerintah Indonesia sejak zaman Presiden Soekarno hingga Soeharto.
Jika sekarang judi online telah membuat pemerintah kita sibuk, namun dulu, ada sebuah judi yang dilegalkan atas nama kepentingan sosial dan pengembangan olahraga.
Hampir mirip dengan judi online, judi yang diizinkan pemerintah ini juga dimainkan oleh semua usia, tua, muda, pria dan Wanita, target sasarannya hampir mirip dengan berbagai aplikasi judi online saat ini, hingga ke anak-anak.
Pemerintah Indonesia memang melarang judi sejak tahun 1970an. Saat itu dikeluarkan Undang-undang (UU) No 7 tahun 1974 tentang penertiban perjudian, segala praktek perjudian di Indonesia dihapus karena ini bertentangan dengan agama dan moral Pancasila.
Hanya saja, sebelum UU ini keluar, judi adalah legal di Indonesia.
Bahkan, pemerintah sendiri yang menjadi media perjudian itu dengan tameng Undian Berhadiah. Judi legal ini dimulai sejak tahun 1960an, ketika itu, sebuah Yayasan bentukan pemerintah bernama Yayasan Rehabilitasi Sosial, beroperasi sebagai penyelenggaran judi undian itu, dengan dalih hasilnya nanti untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
Tidak setiap hari, tak sama dengan judi online yang bisa diakses setiap detik, judi legal ini penarikan undiannya hanya sekali sebulan.
Beragam tarif yang ditetapkan oleh yayasan, cukup mahal untuk ukuran tahun 1960, antara Rp10.000 hingga Rp500.000.
Melihat pemerintah yang mulai memancing melegalkan judi undian ini, kemudian membuat swasta ikut-ikutan membuat undian jenis sama dengan nama Lotere Buntut.
Cara main Lotere Buntut ini, cukup tebak dua angka undian yang dikeluarkan Yayasan Rehabilitasi Sosial. Mengerikan, Lotere Buntut yang harganya murah mulai dari Rp50 hingga Rp600, membuat judi ini meluas dengan cepat hingga ke pelosok negeri.
Dari buruh, tukang becak, semua wong cilik bisa ikut main Lotere Buntut. Nilai yang didapat juga lumayan, jika beruntung menang Lotere Buntut, bisa membawa pulang uang senilai Rp60.000 hingga Rp80.000 pada zaman itu.
Saat itu nilai tukar rupiah terhadap USD sekitar Rp1.200. Jadi uang yang diperoleh ini setara Rp750.000 hingga Rp1 Juta saat ini.
Saking hebohnya dunia perjudian jenis lotere ini, kemudian Gubernur DKI Ali Sadikin membuat sebuah pengumuman, katanya adalah Legal permainan Nasional Lotere atau Nalo.
Meski ada pro dan kontrak, namun ternyata Nalo telah ikut membantu pemerintah membangun infrastruktur di Jakarta.
Semakin hari, semakin gila, undian lotere dengan beragam nama bermunculan dan tumbuh.
Masyarakat juga semakin candu membeli kupon, tak lagi fokus bekerja untuk kaya, malah bekerja hanya untuk membeli kupon dengan harapan bisa kaya, situasinya mulai merusak generasi zaman itu.
Hal ini kemudian membuat Presiden Soekarno risau. Ia melihat aktivitas judi seperti ini akan merusak bangsa kita.
Kemudian tahun 1965, Soekarno membuat keputusan yang menggemparkan, yaitu semua lotre-lotrean resmi dilarang.
BACA JUGA: Suku di Jawa Ini Dulu Dikucilkan, Punya Ekor dan Sakti Pernah Kalahkan Suku Dayak
Melalui Kepres Nomor 113 tahun 1965, ditegaskan bahwa Lotere Buntut bersama musik Ngak Ngik Ngok merusak moral bangsa dan masuk dalam kategori subversi.
Kemudian Yayasan Rehabilitasi Sosial pun tutup. Namun tutup bukan berarti hilang, Namanya kemudian berubah menjadi Badan Usaha Undian Harapan. Inilah lahir yang Namanya SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah).
Kuponnya bernama TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah) atau KSSB (Kupon Sumbangan Sosial Berhadiah). Mulai tahun 1979, SSB pun mulai disebar luaskan.
Ada 4 Juta kupon disebar badan usaha bentukan pemerintah itu. Fantastis, omset pemerintah dari SSB diperkirakan mencapai Rp1 Triliun setiap tahun.
Bahkan kupon SSB telah disebar hingga 2,5 Miliar lembar!Tak berhenti sampai di SSB, kemudian pemerintah membuat lagi judi berkedok undian lain bernama Porkas. Jika SSB dan lainnya untuk sosial, maka ini untuk olahraga.
Bahkan Presiden Soeharto sampai mengirimkan utusan Indonesia yaitu Menteri untuk studi banding ke Inggris untuk kesuksesan Porkas ini.
BACA JUGA: Suku Ini Izinkan Perempuan Bersuami Diculik Laki-laki Lain dengan Syarat Gampang
Kemudian Porkas diresmikan tahun 1985 oleh pemerintah, pemerintah ketika itu mengklaim Porkas tidak mengandung unsur judi, tidak ada proses tebak angka. Peredarannya tidak boleh sampai di desa, hanya sebatas kabupaten, dan tak boleh lagi anak bawah umur main Porkas, minimal wajib 17 tahun.
Harga porkas adalah Rp600 per lembar hingga Rp10.000.Cara kerjanya, 14 klub bertanding di divisi utama nasional. Seminggu bertanding, hadiah akan diundi. Cara bagi hadiahnya, 50-30-20, urutannya adalah Penyelenggara – Tebakan – Pemerintah – Penebak.
Namun ini ditentang banyak pihak, MUI menilai ini wajib dievaluasi, Masyarakat pun banyak yang menolak Porkas.
Hingga akhirnya Porkas dihentikan, hanya nama, lalu berganti menjadi KSOB. KSOB tidak menebak menang, kalah maupun seri seperti di Porkas, namun menebak skor pertandingan. Berjalan, KSOB lalu membuat pemerintah bisa menghasilkan hingga Rp221 Miliar sepanjang tahunn 1987.
BACA JUGA: Sama-sama dari Jawa, Ini Beda Suku Jawa dan Suku Sunda
Namun gelombang pertentangan judi berkedok kupon, lotere dan semacamnya ini semakin meluas. Puncaknya ketika November 1993 banyak kios kupon SDSB dibakar massa. Hal ini membuat agen SDSB takut.
Lalu setelahnya, tak ada lagi penjualan SDSB maupun KSOB. Lalu pemerintah mengumumkan, bahwa kupon undian ini resmi dihapuskan di Indonesia. (***)