JAKARTA,bungopos.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadukan proses pemilihan penjabat (Pj) kepala daerah yang diduga ‘ada main’.
ICW mencontohkan, sejumlah purnawirawan hingga anggota aktif TNI/Polri bisa dengan mudah menjadi Pj. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyinggung pengangkatan Mayjen (Purn) Achmad Marzuki sebagai Pj Gubernur Aceh yang ia nilai janggal.
"Pj Gubernur Aceh dilantik 6 Juli 2023, yang bersangkutan pensiun 1 Juli. Kemudian diangkat Kemendagri tanggal 4 Juli, lalu 6 Juli langsung jadi Pj Gubernur," kata Kurnia seperti dikutip Jambi Ekspres dari laman resmi dpr.go.id
Ia menilai, proses singkat tersebut menjadikan Kemendagri seolah-olah menjadi institusi negara yang sebatas tempat persinggahan saja. Sebab, mereka hanya berada di Kemendagri selama beberapa hari saja.
"Rasanya institusi negara dijadikan tempat persinggahan sebelum ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah,” ungkapnya.
Senada, Wakil Korbid Eksternal KontraS, Andi Muhammad Rezaldy menyampaikan dalam konteks penunjukan seorang kepala daerah seharusnya mengedepankan vetting mechanism atau bentuk prinsip merit system.
Ia juga menyoroti soal penunjukan unsur TNI-Polri yang menjadi Pj Kepala daerah. Menurutnya, penunjukan anggota TNI-Polri aktif menjadi Pj kepala daerah bisa membuat bias dalam menjalankan kewenangannya.
"Tentu penunjukan perwira aktif di kalangan institusi keamanan ini sangat mencederai dari semangat reformasi dari sektor keamanan kita yang menginginkan institusi keamanan itu dapat bertugas dan juga menjalankan kewenangannya sesuai dengan mandatnya, yaitu melakukan tindakan hukum pengamanan dan menjaga pertahanan," terangnya.
Sebelumnya, ICW dalam keterangan persnya menulis, pada pelantikan 10 Penjabat Gubernur pada hari Selasa (5/9), Menteri Dalam Negeri tetap membangkang dari amanat konstitusi dan putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) yang menyatakan bahwa dokumen hukum serta informasi terkait penunjukan PJ Kepala Daerah harus terbuka bagi publik.
Ini secara terang benderang dipertontonkan pada 22 Agustus 2023, di mana Indonesia Corruption Watch (ICW) menerima sejumlah dokumen yang diberikan secara langsung oleh perwakilan Kementerian Dalam Negeri pasca putusan KIP Nomor 007/I/KIP-PS-A/2023.
Meski dalam surat Nomor 000.9.3.4/4478/SJ yang ditandatangani oleh Suhajar Diantoro selaku atasan PPID Kemendagri, dinyatakan bahwa terdapat itikad baik Kementerian untuk mendukung keterbukaan informasi publik, namun apabila membaca isi surat dan dokumen lampirannya, klaim tersebut faktanya tidak terbukti.
Dari sejumlah poin yang disampaikan dalam surat di atas, Kemendagri masih berdalih untuk menutup akses terhadap dokumen dan informasi yang dimohonkan oleh ICW dengan menyampaikan beberapa argumen, antara lain:
Salinan Keputusan Presiden Nomor 50/P Tahun 2022 tentang Pengangkatan Penjabat Gubernur yang dimohonkan ICW pada dasarnya diklaim bersifat menetapkan (beschikking) yang hanya ditujukan kepada pihak yang dituju dalam Keputusan Presiden tersebut dan pihak lain yang berkepentingan terkait dengan pelaksanaan keputusan Presiden yang dimaksud;
Lebih lanjut, dikutip pula Lampiran dari Peraturan Menteri Sekretaris Negara No. 2 Tahun 2016 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Keputusan Presiden yang telah ditetapkan merupakan kategori akses terbatas dan rahasia dan hak aksesnya hanya dimiliki oleh penentu kebijakan, pelaksana kebijakan, pengawas, dan penegak hukum;
Terakhir, Kemendagri tetap menolak pemberian akses terhadap dokumen lainnya yang dimohonkan oleh ICW seperti dokumen penjaringan calon penjabat Kepala Daerah, usulan calon penjabat kepala daerah, pertimbangan sidang tim penilai akhir, serta rekam jejak dan latar belakang calon penjabat kepala daerah karena diargumentasikan termasuk dalam informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur pada Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Selebihnya, Kemendagri hanya memberikan sejumlah salinan
fisik dokumen-dokumen yang sebetulnya sudah pernah diberikan sebelumnya kepada ICW pada tahapan sebelum sengketa informasi di KIP.
Dokumen baru yang diberikan ialah:Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota dan Dokumen Identifikasi kepala daerah yang masa jabatannya berakhir tahun 2022 dan 2023 (sebelumnya Kemendagri hanya memberikan dokumen identifikasi untuk tahun 2023 dan 2024).
Pihak Kemendagri nampaknya tidak memahami implikasi dari putusan KIP yang dijatuhkan pada 27 Juli 2023 silam. Pada dasarnya, dengan tidak adanya upaya banding oleh Kemendagri, maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Sehingga, sudah tidak ada ruang lagi bagi Kemendagri untuk berkilah dan menyampaikan argumen-argumen baru sebagai alasan pembenaran terhadap penutupan akses informasi yang sudah dinyatakan wajib dibuka oleh Majelis Komisioner KIP dalam putusannya.
Ditambah lagi, uji konsekuensi yang dilakukan oleh pihak Kemendagri untuk mengecualikan sejumlah informasi yang dimohonkan ICW telah dipatahkan pada saat persidangan dan dinyatakan tidak relevan dan tidak sepatutnya diterima.
Dokumen baru yang diberikan oleh Kemendagri, seperti Permendagri Nomor 4 Tahun 2023, belum menjawab pokok permohonan ICW dan justru menghadirkan tiga permasalahan baru.
Pertama, Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 baru diteken pada 4 April 2023, sehingga masih belum terjawab peraturan teknis apa yang digunakan oleh Kemendagri untuk melantik sedikitnya 103 pada tahun 2022 dan awal tahun 2023.
Kedua, aturan teknis yang diminta oleh ICW adalah aturan yang berbentuk Peraturan Pemerintah dan berumur di atas 2021 sebagaimana diperintahkan tindakan korektif oleh Ombudsman dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, aturan teknis yang dirujuk dan diberikan salinannya oleh Kemendagri tidak memuat pasal-pasal yang dapat menjawab persoalan terkait akuntabilitas proses penunjukan dan mitigasi adanya konflik kepentingan ataupun rangkap jabatan dari penjabat yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Mendagri.
Berkaca dari luwesnya standar untuk calon kandidat penjabat yang dapat ditunjuk oleh Mendagri, besarnya kewenangan yang akan dimiliki penjabat, serta diskresi untuk memperluas kewenangan penjabat yang dapat diberikan oleh Mendagri,
ICW memetakan salah satu risiko terbesar dari ratusan penjabat yang telah ditunjuk dan akan ditunjuk nanti ialah adanya intervensi untuk memasukkan individu-individu dari lingkaran pemerintahan pusat, khususnya loyalis pemerintah.
Berdasarkan pemetaan per 11 Agustus 2023, dari 118 penjabat kepala daerah yang telah dilantik, sedikitnya 15 individu memiliki afiliasi/latar belakang dengan Kementerian Dalam Negeri.
Selain itu, setidaknya 7 individu juga tersebar dengan afiliasi/latar belakang kementerian yang berbeda, antara lain:
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Sekretariat Negara, serta Kementerian Ketenagakerjaan.
Ditambah lagi persoalan individu penjabat yang memiliki latar belakang militer ataupun perwira Polri yang sempat menjadi poin maladministrasi yang dituangkan dalam Laporan Ombudsman.
Alih-alih menyelesaikan persoalan di atas, Kemendagri disinyalir akan mengulangi kesalahan dari proses penunjukan penjabat kepala daerah apabila melihat sepuluh individu yang akan dilantik pada hari Selasa (5/9) sebagai PJ Gubernur.
Nama yang sudah terkonfirmasi dalam pemberitaan akan dilantik berdasarkan hasil keputusan tertutup Tim Penilai Akhir yang diketuai oleh Presiden Joko Widodo antara lain:
1. Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey T Machmuddin untuk Jawa Barat;
2. Komjen. Pol. (Purn) Nana Sudjana untuk Jawa Tengah;
3. Mayor Jenderal TNI (Purn) Hassanudin untuk Sumatera Utara;
4. Staf Khusus Mendagri Bidang Keamanan dan Hukum Irjen. Pol. Drs. Sang Made Mahendra Jaya untuk Bali;
5. Sekretaris Daerah Provinsi Papua Ridwan Rumasukun untuk Papua;
6. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Ayodhia Kalake untuk Nusa Tenggara Timur;
7. Sekretaris Daerah NTB Lalu Gita Ariadi untuk Nusa Tenggara Barat;
8. Sekretaris Daerah Kalimantan Barat Harrison Azroi untuk Kalimantan Barat;
9. Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Komjen. Pol. Dr. (HC.) Andap Budhi Revianto untuk Sulawesi Tenggara;
10. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bachtiar Baharuddin untuk Sulawesi Selatan.
Atas dasar argumentasi di atas, ICW mendesak Kemendagri dan pemerintah untuk:Membuka seluruh informasi terkait latar belakang sepuluh individu PJ Gubernur yang akan dilantik pada September 2023Kemendagri segera menyerahkan Keputusan Presiden Nomor 50/P Tahun 2022 tentang Pengangkatan Penjabat Gubernur dan seluruh aturan teknis terkait pengisian posisi penjabat Kepala Daerah sebagai turunan dari Pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah sebagaimana diamanatkan dalam pertimbangan hakim di putusan MK No. 67/PUU-XIX/2021 dan No. 15/PUU-XX/2022 kepada ICW;
Kemendagri segera menyerahkan dokumen penjaringan calon penjabat, dokumen usulan dan saran yang diterima Kemendagri terkait kandidat penjabat, dokumen pertimbangan dalam sidang Tim Penilai Akhir calon PJ Kepala Daerah, serta dokumen rekam jejak dan latar belakang kandidat PJ Kepala daerah;
Pemerintah segera menyusun, mengesahkan, dan mengundangkan Peraturan Pemerintah terkait mekanisme pengangkatan penjabat yang berpijak pada nilai transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Aminurokhman mengatakan, Komisi II akan memberikan atensi terhadap masukan atau aspirasi yang disampaikan Indonesian corruption Watch (ICW) dan Koalisi Masyarakat Sipil terkait penunjukan Pj yang dinilai tidak transparan dan akuntabel.
"Saya melihat usulan ICW ini berdasarkan catatan kritis ICW, gagasan konstruktif ini akan menjadi atensi kita dalam rapat dengan Mendagri," kata Aminurokhman usai beraudiensi dengan ICW dan Koalisi Masyarakat Sipil di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (19/9/2023).
Terkait aspirasi tersebut, Politisi dari Fraksi NasDem ini menyampaikan akan segera menindaklanjuti dengan Kementerian Dalam Negeri dalam rangka memperbaiki kinerja kementerian serta menjaga kepercayaan publik terhadap Penjabat Kepala Daerah yang dilantik.
"Hal-hal yang disampaikan ini akan kami teruskan agar tidak terjadi spekulasi atau kecurigaan yang pada akhirnya menimbulkan trust public ini menurun, karena ini juga menyangkut keberlangsungan pemerintahan dan pembangunan," jelasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus mengatakan jika sebenarnya pihaknya sudah mewanti-wanti Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam proses penunjukkan Pj Kepala daerah.
"Saya secara pribadi sudah melansir juga hal-hal yang disampaikan tadi. Ya sebagai mitra Komisi II dengan Mendagri, sebetulnya kami sudah mengingatkan," kata Guspardi.
Ia menyampaikan, jika Komisi II sebenarnya juga sudah membentuk Panitia kerja atau Panja untuk mengevaluasi Pj tersebut.
Panja tersebut juga untuk menampung apa yang menjadi aspirasi ICW maupun Koalisi Masyarakat Sipil."Oleh karena itu, apa yang disampaikan kawan - kawan, bagi kami ini sangat berharga, sangat penting.Dan ini juga akan kami lakukan RDP nanti, apalagi sebagaimana katakan tadi, kita sudah membentuk Panja. Artinya, Komisi II sangat respons apa yang disampaikan,” kata Guspardi. (*)