Bahren Nurdin

KARANGAN BUNGA BUDAYA SIAPA?

BEBERAPA waktu lalu saya melihat ada ratusan papan ucapan (karangan bunga) untuk ulang tahun salah satu kantor pemerintah yang berulang tahun. Tidak salah kalau kita bertanya, ini sebenarnya budaya siapa?

Dalam era modern ini, kita disuguhkan dengan berbagai budaya yang terus berubah seiring perkembangan zaman. Salah satu fenomena menarik yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adalah budaya mengirimkan karangan bunga sebagai ucapan selamat dalam berbagai acara penting, seperti pernikahan, ulang tahun kantor, kelulusan, atau pencapaian akademik. Namun, patut dipertanyakan apakah budaya ini adalah bagian dari budaya Indonesia?

Budaya mengirim ucapan karangan bunga sesungguhnya tidak berasal dari budaya Indonesia, melainkan berasal dari budaya Barat, terutama dari Eropa dan Amerika Utara. Sejarah singkat budaya ini dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno di berbagai wilayah Eropa.

Pada awalnya, karangan bunga digunakan sebagai simbol penyampaian pesan secara diam-diam. Pada abad ke-19, di Inggris, bahasa bunga atau "floriography" menjadi populer, di mana setiap jenis bunga memiliki arti dan pesan tersendiri. Orang-orang menggunakan karangan bunga untuk menyampaikan perasaan atau maksud yang sulit diungkapkan secara langsung kepada orang yang mereka kagumi atau cintai.

Ketika melihat lebih dalam, kita akan menyadari bahwa budaya mengirimkan papan ucapan selamat dengan karangan bunga sebenarnya bukanlah asli dari Indonesia. Hal ini telah menjadi tren yang semakin meluas di beberapa dekade terakhir. Seiring dengan perkembangan teknologi dan pengaruh dari budaya luar, kita telah mengadopsi praktik ini dalam berbagai momen spesial.

Sebelum adanya tradisi mengirimkan karangan bunga, budaya kita lebih mengedepankan kekeluargaan dan keakraban. Ucapan selamat datang dalam berbagai acara penting disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan. Hal ini memungkinkan kita untuk benar-benar merasakan kebahagiaan dan kegembiraan secara bersama-sama, serta mempererat hubungan sosial di antara anggota masyarakat.

Namun, dengan maraknya budaya "ambil muka," kita sering kali terjebak dalam upaya menunjukkan kehadiran dan eksistensi diri melalui karangan bunga yang mewah. Terkadang, hal ini justru mengaburkan makna sejati dari ucapan selamat itu sendiri.

Kita mengirimkan karangan bunga tanpa memberikan perhatian pada orang yang berulang tahun atau meraih kesuksesan akademik, bahkan saat yang bersangkutan tidak dapat hadir. Akibatnya, kehangatan kekeluargaan yang dulu pernah kita rasakan, semakin pudar dalam kesemrawutan tren sosial.

Penting untuk merefleksikan kembali manfaat dari budaya mengirimkan karangan bunga ini. Apakah hal ini masih relevan dengan nilai-nilai budaya Indonesia yang sejati? Apakah karangan bunga tersebut benar-benar memperkuat ikatan sosial dan kebersamaan di antara kita? Jika jawabannya negatif, maka sudah saatnya untuk berani mengakui bahwa budaya ini mungkin tidak sesuai dengan identitas budaya kita yang sebenarnya.

Sebagai sebuah bangsa yang kaya akan nilai-nilai kekeluargaan, mari kita berupaya menghidupkan kembali budaya asli kita yang lebih tulus dan dekat dengan hati. Ucapan selamat tidak selalu harus hadir dalam bentuk karangan bunga megah, namun bisa lebih berarti jika disampaikan dengan kehadiran langsung dan tatap muka.

Meluangkan waktu untuk mengucapkan selamat secara personal akan membuktikan bahwa kita sungguh peduli dan menghargai momen bahagia orang lain.

Memang, menghilangkan budaya "ambil muka" ini tidak akan mudah. Perubahan tidak pernah datang dengan sendirinya, tetapi harus dimulai dari kesadaran kita masing-masing. Mari kita bersama-sama merenungkan kembali akar budaya Indonesia yang sesungguhnya, yaitu budaya kekeluargaan. Melalui sikap tulus dan perhatian yang tulus terhadap sesama, kita dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih hangat dan akrab.

Akhirnya, dalam menghadapi perubahan zaman, marilah kita tidak melupakan akar budaya kita yang telah menjadi jati diri sebagai bangsa. Sebagai generasi penerus, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan menghidupkan kembali nilai-nilai luhur dari budaya kekeluargaan yang sejati.

Dengan demikian, mari kita saling mendukung dan mempererat ikatan sosial secara tulus, bukan hanya dalam ucapan selamat, tetapi juga dalam tindakan nyata untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat kita. Semoga#-( Penulis adalah  Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik)

Penulis: Bahren Nurdin
Editor: Arya Abisatya