Abdullah Khusairi

26 Tahun Sarolangun: Aroma Masa Depan yang Membusuk

Posted on 2025-10-13 20:21:33 dibaca 84 kali

Oleh: Abdullah KhusairiSelamat ulang tahun, Kabupaten Sarolangun — 12 Oktober 2025. Dua puluh enam tahun sudah sejak pemekaran pada 1999, saat semangat reformasi menjalar dari kota besar hingga pelosok pedalaman. Sarolangun lahir dari harapan pembaruan, tetapi juga dari bayang-bayang ketimpangan yang tak kunjung pergi.

Kabupaten ini membentang seluas 6.174 km², dari dataran rendah sepuluh meter hingga punggung bukit seribu meter. Perut buminya menyimpan minyak, emas, dan kebun sawit; tanahnya pernah harum oleh karet yang kini tersisa di pinggiran. Namun, kekayaan alam itu terus disedot tanpa henti, sementara kemiskinan masih berdiam di banyak rumah.

Penduduk Sarolangun berjumlah 310.287 jiwa — 152.133 laki-laki dan 158.154 perempuan — hidup di antara janji pembangunan yang belum tuntas. Sekitar 52.000 di antaranya adalah Generasi Z, anak-anak muda yang tumbuh di dunia digital tetapi terjebak dalam ekonomi yang masih serba analog. Lebih dari 15.000 warga menunggu pekerjaan tetap, menatap masa depan yang menggantung di langit mendung.

Secara statistik, ekonomi terlihat meyakinkan. PDRB per kapita mencapai Rp71,16 juta dengan pertumbuhan 6,93% per tahun. Namun kesejahteraan itu belum merata; denyut ekonomi masih bertumpu pada pertanian, kehutanan, dan tambang. Angka yang tampak manis di atas kertas sering kali menutupi kenyataan bahwa kekayaan bumi tak lagi menjadi penopang masa depan, melainkan jebakan ketergantungan yang rapuh. Tambang emas.yang seharusnya berkah kini lebih banyak meninggalkan lubang, bukan kesejahteraan.

Dengan APBD sekitar Rp1,4 triliun, Sarolangun sebenarnya memiliki kapasitas fiskal yang cukup untuk berbenah. Kebijakan daerah sering terjebak dalam rutinitas birokrasi, malahan ajang perebutan proyek semata. Dana habis di seremonial, perjalanan dinas, atau proyek infrastruktur tanpa arah pembangunan manusia. Ironi pun muncul: ekonomi naik di atas kertas, tetapi kriminalitas meningkat di jalanan. Pencurian kendaraan roda dua seperti menjadi kebiasaan sosial, sementara peredaran sabu merebak hingga ke kampung kecil — tanda kegelisahan sosial yang tak tertangani.

Tambang emas.dan minyak semestinya menjadi modal transisi menuju ekonomi pengetahuan. Namun tanpa strategi diversifikasi, Sarolangun hanya menambang bumi yang sekarat. Tidak ada kebijakan yang serius mendorong pendidikan vokasional, industri kreatif, atau start-up lokal. Akibatnya, potensi besar generasi muda menguap tanpa arah, terjebak antara tambang dan TikTok. Lalu pergi jauh mencari kesempatan lebih baik dari daerah sendiri yang kian suram. 

Pendidikan, semestinya menjadi pondasi perubahan, belum berjalan kokoh. Sekolah-sekolah di pinggiran kekurangan guru dan fasilitas dasar. Pemerintah masih sibuk membangun gedung, bukan membangun kualitas manusia. Anak-anak Sarolangun menunggu ruang untuk bermimpi, sayangnya kebijakan pendidikan lebih sering berhenti pada angka partisipasi, bukan pada mutu dan masa depan.

Budaya lokal, yang mestinya menjadi sumber nilai dan kebanggaan, kian rapuh. Generasi muda tenggelam dalam hiburan instan, sementara festival budaya dan pelestarian tradisi sekadar agenda tahunan tanpa roh. Kegiatan belum menanamkan kesadaran,membangun Sarolangun juga berarti merawat ingatan dan identitas. Daerah ini bisa kehilangan jiwa sebelum kehilangan tanahnya.

Kesenjangan infrastruktur memperparah jurang sosial. Di pusat kota, jalan mulus, listrik stabil, dan air bersih mengalir. Namun di pinggiran, warga masih menambal jalan sendiri atau terbiarkan hingga menahun. Ketimpangan pelayanan publik menanam bibit ketidakpuasan yang bisa berubah menjadi apatisme social, kriminalitas hingga egoisme daerah. 

Lingkungan pun memberi tanda bahaya. Penebangan liar dan penambangan tanpa izin terus merusak hutan. Sungai yang dulu jernih kini keruh, udara penuh debu tambang. Pemerintah tampak kehilangan kendali, dan masyarakat kehilangan daya tawar atas ruang hidupnya sendiri. Alam yang dulu memberi hidup kini menuntut balas atas kerakusan manusia. Sesekali didera banjir yang tak terpanai. 

Partisipasi publik seolah hidup hanya dalam laporan resmi. Forum musyawarah dan konsultasi publik memang ada, tapi sering sekadar formalitas. Suara rakyat jarang masuk ke meja pengambil kebijakan. Demokrasi lokal kehilangan napas ketika aspirasi hanya menjadi catatan rapat tanpa tindak lanjut.

Sarolangun berdiri di persimpangan sejarah. Daerah ini bisa terus menambang bumi yang renta atau mulai menambang pikiran anak mudanya. Masa depan tidak berada di perut bumi, tetapi di kepala dan hati generasi yang berani berpikir dan berinovasi. Tanpa perubahan arah, Sarolangun akan terus merayakan ulang tahun di atas tanah yang perlahan membusuk.

Sekali lagi, selamat ulang tahun, Sarolangun.Sudah waktunya berhenti berpesta di tengah aroma masa depan yang busuk. Sudah waktunya serius berbenah. [*] 

*Penulis adalah Akademisi kelahiran Sarolangun

Sumber: Jambi Ekspres
Copyright 2023 Bungopos.com

Alamat: Graha Pena Jambi Ekspres,
Jl. Kapt. Pattimura No. 35 KM. 08
Kenali Besar, Kec. Alam Barajo, Kota Jambi

Telpon: -

E-Mail: bungoposonline@gmail.com