ILUSTRASI :

Suami Hilang Tanpa Kabar? Ini Solusi Hukum Mengakhiri Pernikahan

Posted on 2024-10-11 19:12:10 dibaca 502 kali

BIDUK perkawinan tak selamanya mulus. Halangan, rintangan, dan godaan kerap menerjang mahligai rumah tangga. Bahkan, tak jarang berakhir dengan perceraian di meja pengadilan, baik secara sepakat maupun tidak.  

Di antara sederet permasalahan suami-istri, ada pula istri yang ditinggal lama oleh suaminya tanpa kejelasan : apakah bercerai atau masih berstatus suami-istri. Jika masih berstatus suami-istri, bagaimana kelangsungan nafkah bagi dirinya dan anak-anaknya ?  

Jika istri sudah tidak sabar dan ingin menikah lagi, berapa lama ia harus menunggu ? Bagaimana cara istri mengakhiri pernikahan dengan suami yang meninggalkannya ?

Dalam literatur hukum Islam, suami yang meninggalkan istri sering disebut sebagai suami mafqud atau suami ghaib, yaitu suami yang hilang kabar dan kontak tanpa diketahui tempat tinggalnya, atau meskipun diketahui, tidak ada kepastian apakah masih hidup atau sudah meninggal.  

Menurut pandangan para ulama mazhab, masalah suami yang meninggalkan istri ini disarankan untuk diselesaikan oleh hakim di pengadilan. Salah satu contohnya adalah kasus yang diajukan kepada Umar bin Khathab.  

عن يحيى بن جعدة أن رجلاً استهوته الجن فغاب عن امرأته فأتت عمر بن الخطاب رضي الله عنه فأمرها أن تمكث ‌أربع ‌سنين ثم أمرها أن تعتد ثم تتزوج  

Artinya, "Diriwayatkan dari Yahya bin Ju’dah, ada seorang laki-laki yang disihir oleh jin sehingga menghilang dan meninggalkan istrinya. Maka sang istri pun mengadu kepada Umar bin al-Khathab. Umar memerintahkannya untuk menunggu selama empat tahun, kemudian menjalani masa iddah, dan boleh menikah kembali."

Ini juga menjadi kesimpulan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya, dengan alasan bahwa jika pembatalan nikah (fasakh) dibolehkan karena kesulitan berjimak akibat impotensi atau kesulitan nafkah karena kemiskinan, apalagi dengan hilangnya suami. (Lihat: Abu Ishaq asy-Syairazi, Al-Muhadzab, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2010], jilid 3, hal. 123).  

Namun, dalam qaul jadid-nya, Imam Syafii menyimpulkan bahwa suami tidak boleh dihukumi meninggal sampai ada bukti kuat atau setelah berlalunya waktu di mana dipastikan suami tidak mungkin lagi hidup.  

Pendapat para ulama mazhab dijelaskan lebih lanjut oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili. Menurut ulama Hanafi, masalah ini sebaiknya diserahkan kepada hakim yang harus menunggu, berijtihad, dan mengambil keputusan berdasarkan bukti dan kemaslahatan. Sesuai dengan pernyataan Sayidina Ali:

  امرأة المفقود امرأة ابتليت فلتصبر، لا تنكح حتى يأتيها يقين موته

Artinya, "Perempuan yang kehilangan suami adalah perempuan yang diuji. Maka bersabarlah! Jangan menikah sampai ada keyakinan akan kematian suaminya."  

Hal serupa dikemukakan oleh ulama Hanbali. Mereka sependapat dengan ulama Hanafi bahwa jika suami hilang dan diduga masih hidup, maka hakim harus memutuskan berdasarkan bukti kuat. Namun, jika hilangnya suami diasumsikan karena kematian, seperti pergi berperang, hakim boleh memutuskan kematiannya setelah empat tahun sejak suami menghilang.   Menurut ulama Maliki, suami hilang bisa diputus kematiannya setelah empat tahun sejak istri mengajukan perkara ke pengadilan.

Setelah itu, istri menjalani masa iddah wafat dan dapat menikah kembali jika mau.   Ada juga pendapat lain dari ulama Maliki yang mengatakan bahwa hakim dapat memisahkan suami-istri setelah satu tahun atau lebih sejak hilangnya suami. (Lihat: Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Darul Fikr, 2013], jilid X, hal. 7893).  (***)

Penulis: Ustadz M. Tatam Wijaya
Editor: arya abisatya
Sumber: https://www.nu.or.id/
Copyright 2023 Bungopos.com

Alamat: Graha Pena Jambi Ekspres,
Jl. Kapt. Pattimura No. 35 KM. 08
Kenali Besar, Kec. Alam Barajo, Kota Jambi

Telpon: -

E-Mail: bungoposonline@gmail.com