ILUSTRASI : Prosesi pernikahan
JAMBI, bungopos.com - Islam mengatur sedemikian rupa tentang semua permasalahan manusia di antaranya adalah tentang pernikahan. Lalu bagaimana jika pernikahan itu berbeda keyakinan yaitu berbeda agama dan bagaimana Islam memandang hal tersebut, serta bagaimana pendapat Imam Madzhab ?
a. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram. Tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Akan tetapi pembolehan tersebut bersifat makruh sebagaimana yang disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili. Karena Umar radhiyallahu „anhu berkata kepada orang-orang yang kawin dengan perempuan ahli kitab, “Ceraikanlah mereka”. Maka para sahabat radhiyallahu „anhum menceraikan mereka, kecuali Hudzaifah radhiyallahu „anhu. Kemudian, Umar radhiyallahu „anhu berkata kepadanya, “Ceraikanlah dia.”
Maka Hudzaifah bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa dia haram?” Umar kembali berkata kepadanya, “Dia minum minuman keras.” Hudzaifah kembali berkata “Aku telah mengetahui dia minum minuman keras, akan tetapi dia halal bagiku.” Setelah lewat beberapa waktu, dia ceraikan istrinya tersebut. Lalu ada orang yang berkata kepadanya, “Mengapa kamu tidak menceraikannya manakala Umar memerintahkan hal itu kepadamu?” Dia menjawab, “Aku tidak mau manusia melihat aku melakukan suatu perkara yang tidak selayaknya aku lakukan”.
Sedangkan perempuan ahli harb (kafir yang memerangi umat Islam), menurut mazhab Hanafi haram untuk dikawini, jika dia berada di darul harb (wilayah konflik); karena mengawininya akan membuka pintu fitnah.
b. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Malik
Madzhab Maliki mempunyai dua pendapat, yaitu 1) menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya makruh mutlak, baik dzimmiyah (wanita-wanita non-muslim yang berada diwilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun wanita harbiyah, namun makruhnya menikahi wanita harbiyah lebih besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram;
dan 2) Tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlaq. Metodologi berfikir madzhab maliki ini menggunakan pendekatan sad alzariyan (menutup jalan yang mengarah kepada kaemafsadatan), jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama ini, maka diharamkan.
c. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Syafi‟i
Imam Syafi‟i berkata; Allah berfirman dalam Al Mumtahanah Ayat 10, setelah itu turunlah rukhsah (keringanan) yang menghalalkan wanita-wanita merdeka dari kalangan ahli kitab hal ini sebagaimana yang dijelaskan Allah S.W.T. dalam Surat Al-Ma‟idah Ayat 5 sebelumnya.
Imam Syafi‟i berpendapat dihalalkan menikahi wanita wanita merdeka Ahli kitab bagi setiap muslim, karena Allah S.W.T. menghalalkan mereka tanpa pengecualian. Wanita-wanita Ahli kitab yang merdeka dan boleh dinikahi adalah pengikut dua kitab yang masyhur yakni; Taurat dan Injil dan mereka adalah Yahudi dan Nasrani. Adapun Majusi, tidak masuk dalam golongan itu.
d. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Hambali
Mazhab Hambali mengemukakan haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih kebanyakan pengikutnya cenderung mendukung pendapat guru Ahmad bin Hambal, yaitu Imam Syafi‟i. Tetapi tidak membatasi, bahwa yang termasuk ahlu al-kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
Berdasarkan uraian di atas perlu diketahui bahwa imam madzhab bersepakat melarang laki-laki muslim untuk menikah dengan non muslimah (wanita kafir) kecuali non muslimah itu adalah ahlul kitab yang beragama samawi yaitu Nasrani atau Yahudi yang paham Taurat dan Injil. Sedangkan wanita muslimah dilarang menikah dengan laki-laki non muslim baik laki-laki itu ahlul kitab beragama samawi, Yahudi dan Nasrani atau laki-laki musyrik. Akan tetapi, yang dimaksud oleh Imam Madzhab tentang wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) di sini adalah karena wanita ahlul kitab pada zaman dahulu, tidak wanita ahlul kitab pada zaman sekarang. Adapun pada saat ini, mereka wanita ahlul kitab mayoritas tidak memahami isi dan kandungan kitab-kitab mereka yang sesungguhnya, karena sudah banyaknya perubahan. Dengan demikian, disimpulkan bahwa pendapat Imam Madzhab tentang pembolehan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab hanya sebatas pada zaman mereka. (***)
Alamat: Graha Pena Jambi Ekspres,
Jl. Kapt. Pattimura No. 35 KM. 08
Kenali Besar, Kec. Alam Barajo, Kota Jambi
E-Mail: bungoposonline@gmail.com