SIBOLGA, bungopos.com —Hari-hari pascabencana di Kota Sibolga tidak berjalan tenang. Di balik langit yang mulai cerah dan aliran air sungai yang telah surut, rasa takut masih menggantung di dada warga. Trauma, kata Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sibolga, Zulfan, masih menjadi bayang-bayang yang belum mampu diusir oleh waktu.
“Saat ini banyak warga yang tinggal di dekat pegunungan memilih tetap mengungsi sampai sekarang,” ujar Zulfan seperti yang dikutip dari NU Online, Ahad (7/12/2025).
Kalimat itu menggambarkan betapa besar ketakutan yang masih tersisa. Mereka yang rumahnya berada di dekat lereng memilih bertahan di posko pengungsian, alih-alih kembali ke tempat tinggal yang setiap malam membuat mereka waswas.
Banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang beberapa titik di Sibolga meninggalkan luka yang tidak hanya terlihat pada rumah yang rusak atau jalan yang terputus, tetapi juga dalam batin korban. Anak-anak sulit tidur, para ibu masih terkejut setiap kali hujan turun, dan para lansia memendam cemas yang tak terucap.
Namun trauma bukan satu-satunya beban. Di tengah upaya bangkit, kebutuhan hidup sehari-hari mulai menyesakkan. Kelangkaan gas elpiji 3 kilogram membuat banyak keluarga kesulitan memasak makanan sederhana sekalipun. Di beberapa lokasi, harganya naik atau bahkan tidak tersedia. Sementara itu, harga bahan pokok turut merangkak naik, menggerus kantong warga yang kini tidak lagi bisa mengandalkan penghasilan stabil.
“Kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah sembako dan pakaian bagi korban terdampak bencana,” tutur Zulfan. Seruan itu mencerminkan kebutuhan dasar yang masih jauh dari cukup. Di posko-posko pengungsian, beberapa keluarga hanya memiliki pakaian yang tersisa di badan saat bencana terjadi. Anak-anak membutuhkan pakaian hangat, sementara para ibu berharap ada cukup beras dan lauk untuk bertahan hari demi hari. (***)