BUPATI BUNGO : H Dedy Putra ditengah-tengah peserta do'a bersama

Dzikir, Doa, dan Dialog: Wajah Teduh Kepemimpinan di Bungo

MUARA BUNGO, bungopos.com  – Malam itu, langit di atas Mapolres Bungo tampak tenang. Di halaman yang biasanya sibuk dengan urusan hukum dan keamanan, ratusan orang berkumpul dalam keheningan yang penuh harap. Kalimat-kalimat dzikir melantun lembut, doa-doa naik ke langit. Di tengah kondisi bangsa yang diwarnai berbagai dinamika dan kegelisahan sosial, masyarakat Bungo memilih bersujud dan bermunajat, memohon perlindungan dan petunjuk dari Yang Maha Kuasa.

Di barisan depan, tampak sosok Bupati Bungo, H. Dedy Putra, SH, M.Kn, duduk bersila bersama jajaran kepolisian, tokoh agama, dan masyarakat. Ia tidak datang hanya sebagai kepala daerah, tapi juga sebagai seorang pemimpin yang memahami bahwa dalam situasi genting, spiritualitas dan kebersamaan bisa menjadi penenang sekaligus penguat.

"Kita berdoa agar bangsa ini selalu dalam lindungan Allah SWT, dijauhkan dari perpecahan, dan diberi jalan terbaik untuk menghadapi tantangan yang ada," ucap Bupati Dedy lirih seusai acara dzikir.

Namun malam itu tidak berhenti di sana. Sesaat setelah lantunan doa terakhir selesai, suasana berubah. Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Kabupaten Bungo dan organisasi mahasiswa Cipayung Plus mendekat. Mereka datang bukan untuk berorasi keras, tapi menyampaikan keresahan—tentang kondisi bangsa, tentang harapan yang nyaris putus, dan tentang masa depan yang butuh arah.

Alih-alih menghindar atau bersikap formal, Bupati Dedy Putra justru berdiri menyambut mereka. Ia turun dari tempat duduknya, membuka ruang dialog terbuka, dan mendengarkan satu per satu suara mahasiswa. Bukan di ruang tertutup, bukan dengan protokol kaku, tapi di tempat yang sama—di halaman Mapolres, di bawah langit malam, setelah doa dipanjatkan bersama.

“Suara mahasiswa adalah suara rakyat. Kita harus sama-sama menjaga kondusivitas daerah, namun aspirasi dan kritik tetap perlu disampaikan sebagai bentuk kepedulian terhadap bangsa dan negara,” ujar Bupati Dedy dalam orasinya di hadapan para demonstran.

Percakapan itu berjalan jujur. Tak ada sekat antara penguasa dan rakyat. Para mahasiswa menyampaikan aspirasi, keresahan, dan saran untuk daerah dan bangsa. Dan Bupati tak sekadar mendengar; ia merespons, mencatat, bahkan berjanji untuk menindaklanjuti.

Dalam situasi sosial yang sering kali panas oleh konflik dan adu argumentasi, malam itu di Bungo justru menghadirkan wajah lain dari demokrasi: damai, teduh, dan terbuka.

"Pemerintah daerah mendukung penuh ruang demokrasi yang sehat dan terbuka. Semuanya harus dilakukan secara tertib, damai, dan sesuai aturan hukum yang berlaku," tegas Bupati Dedy.

Ia juga mengajak semua pihak, terutama generasi muda, untuk terus menjaga persatuan. Karena di tengah tantangan zaman, suara-suara yang membangun—meski tajam dan kritis—adalah bagian penting dari perjalanan bangsa.

Pelan-pelan, para mahasiswa mulai membubarkan diri. Dzikir telah usai, diskusi telah selesai. Namun pesan dari malam itu tinggal lama: bahwa di Bungo, masih ada ruang untuk doa dan dialog berjalan beriringan. (***)

Editor: arya abisatya
Sumber: https://www.bungokab.go.id/