Oleh : Mohd Haramen
SUATU ketika Sekretaris Kabinet Maria Ulfah menyodorkan uang Rp 6 juta yang merupakan sisa dana nonbujeter untuk keperluan operasional Bung Hatta selama menjabat wakil presiden. Namun dana itu ditolak Bung Hatta. Ia mengembalikan uang itu kepada negara. Mohammad Hatta melakukan itu karena ia tak ingin meracuni diri dan mengotori jiwanya dari rezeki yang bukan haknya. Karena dia selalu teringat pepatah Jerman, Der Mensch ist, war est izt yang berarti sikap manusia sepadan dengan caranya mendapat makan.
Lain lagi dengan Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso. Sebelum ia diangkat menjadi menjadi kepala Jawatan Imigrasi RI (1960– 1965), dirinya meminta istrinya agar menutup toko kembang miliknya. Lantas, istrinya berkata, :
“Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan kepala jawatan imigrasi?” Itulah protes yang dilontarkan Merry Roeslani, istri Jenderal Hoegeng.
Ibu Merry tak habis pikir dengan permintaan suaminya itu karena toko kembang tersebut salah satu sumber penghasilan tambahan mereka. Hoegeng menjawab tegas, “Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya.”
Rupa-rupanya, Hoegeng takut toko bunga itu menjadi beban bagi dirinya dalam menjalankan tugasnya.
Prilaku pejabat negara tersebut menunjukkan integritas yang sesungguhnya. Uang dan kekayaan bagi mereka bukanlah tujuan. Integritas mereka tinggikan, pekerjaan merupakan ladang pengabdian. Kontras dengan fenomena hari ini. Dimana kejujuran merupakan barang langka. Pekerjaan dijadikan ladang menumpuk kekayaan. Wacana pengabdian ke rakyat hanya retorika pemanis ucapan bibir. Terkadang ditemui ada pejabat kaya raya tapi masih mau memakan uang rakyat dengan cara-cara yang batil.
Padahal Allah SWT sudah me wanti-wanti didalam Alquran surat Al Baqarah ayat 188 yang artinya sebagai berikut :
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil,'' (Q:S : Al Baqarah, 188)
Lain waktu Rasulullah SAW juga berwasiat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim) sebagai berikut :
“Pemimpin yang tidak amanah dan menipu rakyat akan diharamkan surga baginya oleh Allah SWT.”
Puasa adalah kawah pendadaran integritas yang sesungguhnya. Ramadan menguji kita dengan dua ujian sekaligus. Yakni pertama ujian kejujuran. Dimana, disaat kita dengan gampang sekali menyeruput minuman di luar penglihatan khalayak, tapi kita dituntut tetap menahan dahaga. Integritas dinyatakan lulus bila kita tetap berlaku lurus.
Kedua, ramadan mengajak kita tetap produktif. Puasa tidak harus membuat kita menjadi lemah, meski berlapar dahaga. Iman dan raga kita diuji sedemikian rupa agar bisa menjadi hamba yang sempurna. Inilah kawah candradimuka menjadi manusia yang bertakwa.
(Penulis adalah Ketua Bidang Dakwah Digital dan Pengembangan Kajian Alqur'an Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kota Jambi)