JAKARTA, bungopos.com - Jejak mengenai peringatan-peringatan Maulid Nabi pada masa pemerintahan Presiden Sukarno bisa dilacak pada harian Duta Masjarakat, surat kabar milik Nahdlatul Ulama yang dirintis KH Wahid Hasyim sejak tahun 1954. Pada surat kabar yang mendapat izin terbit dari pemerintah 31 Oktober 1958 dengan No. 81/109/PPDSIDR/958 itu, disebutkan bahwa Puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad diadakannya Maulid Akbar di Lapangan Istana Merdeka pada tanggal 4 september 1960.
Satu hal penting yang dikemukakan Presiden Sukarno dalam pidatonya adalah perihal kesadaran dirinya yang merasa seperti tidak punya ukuran yang cukup untuk menilai kebesaran Nabi Muhammad. Dengan pikirannya, hatinya, dan dengan buku-buku yang dibacanya tentang Nabi Muhammad, Presiden Sukarno merasa ukurannya “tak gaduk” (tak sampai). Begitu yang diberitakan Duta Masjarakat dalam tajuk Presiden Sukarno: Nabi Muhammad adalah tjontoh jang tidak bisa salah edisi 5 September 1960.
Lalu, pada 1965, Duta Masjarakat edisi 13 Juli kembali memberitakan peringatan Maulid Nabi Muhammad yang diselenggarakan di Istana Negara. Tajuk yang dipilih tertulis Presiden Sukarno: Kita Harus Anggap Nabi Muhammad s.a.w. Pemimpin Terbesar.
Yang menarik, pada saat itu pembacaan ayat suci Al-Qur’an dilantunkan oleh seorang qari’ah muda bernama Rofiqoh Darto Wahab yang terkenal dalam sejarah musik religi sebagai pelopor seni Qasidah modern. Ia lahir 18 April 1945, di Kranji, Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan. Ayahnya, KH Munawwir adalah pengasuh Pesantren Munawwirul Anam Kabupaten Pekalongan yang memiliki ribuan santri, dan ibunya, Hj. Munadzorah berasal dari keluarga Pesantren Buntet, Cirebon.(***)