Oleh : Navarin Karim
CURRENT ISUE akhir-akhir ini yang terjadi dalam perpolitikan di beberapa daerah di Indonesia adalah kuatnya pengaruh Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai dalam menentukan bakal calon pilkada di daerah. Baik DPP yang sudah punya kontrak politik sebagai Koalisi Indonesia Maju (KIM) maupun oposisi, sama- sama sebagai penentu balon yang akan didukung pada perhelatan kompetisi Pilkada Serentak.
Ini mungkin salah satu kelemahan dalam Pilkada Serentak, efeknya adalah hegemoni politik yang diprioritaskan. Bukan lagi Dewan Pengurus Wilayah (DPW) yang menentukan bakal calon yang akan ikut kontestasi. Biasanya DPW mengajukan balon kepada DPP, DPP tinggal meratifisir.
Sepertinya dengan kekuasaan yang luar biasa dari KIM mudah untuk mengontrol kerajaan politik yang makin menguasai berbagai wilayah daerah. Persis tapi tak sama (exactly but not the same) seperti kerajaan Majapahit tahun 1293 – 1527 memperluas wilayah kekuasaannya dari Jawa, Sumatera, ke Semenanjung Melayu hingga Indonesia Timur. Polanya dengan cara-cara agresif yaitu intervensi melalui peperangan. Jika sekarang (zaman now) dengan cara intimidasi melalui penguasaan informasi dari lembaga kompeten seperti Badan Inteligent Nasional (BIN), Komisi Pemberantasan Keuangan (KPK), Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia (Kemenkum dan HAM). Akibat perluasan kerajaan politik (Hegemoni), makanya Presiden kita disebut Raja Jawa, karena membangun kekuasaan mulai dari walikota Solo (Jawa Tengah), Gubernur DKI, hingga Presiden RI (dua periode) yang mempunyai wilayah yurisdiksi kekuasaan seantero Indonesia.
Mekanisme HegemoniMekaniisme untuk partai oposisi sebagai berikut : Balon Pilkada yang diajukan DPW dapat berasal dari partai, dapat pula bukan berasal dari partai. DPP kemudian melakukan identifikasi dengan persyaratan yang tercantum pada Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT), setelah itu dilakukan pembahasan dari partai koalisi oposisi atau oposisi tunggal partai tentang nama-nama Gubernur dan bupati yang akan kompetisi di Pilkada serentak, kemudian diumumkan ke publik.
Sedangkan mekanisme untuk Koalisi Partai, beberapa calon dibahas bersama dengan koalisi partai, kemudian disepakati dan disetujui oleh pimpinan koalisi. Kemudian diumumkan ke publik tentang calon-calon Gubernur, bupati dari berbagai daerah yang mengikuti Pilkada. Efek Hegemoni kekuasaan ini jelas akan mematikan demokrasi, dimana terjadi koalisi yang sangat gemuk, sehingga bisa terjadi kandidat pilkada yangdidukung koalisi gemuk akan berhadapan dengan kotak kosong.
Partai yang telah bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) dengan teganya tidak mendukung kadernya yang punya popularitas dan prestasi mumpuni, malah bergayut di kumpulan lebah yang hampir jatuh tumpukannya (KIM Plus). Bahkan kader yang tetap maju dalam pilkada dan mendapat dukungan partai diancam untuk diminta untuk mengundurkan diri atau diberi sanksi sesuai AD/RT yang berlaku jika tetap maju dengan kenderaan partai lain. Ada kader yang memberi perlawanan secara berani bersedia keluar dari partai yang telah membesarkannya.
Memang pilihan yang sulit. Pilihannya adalah tetap maju pilkada dan keluar dari partai asalnya atau tetap di partai yang membesarkannya tapi tidak maju sebagai balon kepala daerah. Ini boleh dianggap sebagai pejuang yang menegakkan kembali demokrasi, walau dia dianggap “kacang yang lupa dengan kulitnya” demi memperjuangkan kepentingan umum.
Inilah yang disebut dengan misi suci (mission sacre) supaya ada kompetisi yang imperatif. Lucu pula rasanya jika terjadi kandidat melawan kotak kosong. Juru bicara koalisi gemuk dengan lantang mengatakan ini strategi demokrasi, Namun penulis lebih senang mengatakan sebagai strategi mendapatkan “Kue politik” bukan strategi demokrasi, karena demokrasi harus ada kompetisi antar kandidat, bukan melawan kotak kosong. Melawan “Kotak kosong” seolah senewen atau hilang akal sehat bagi yang melawan.
Berpalingnya Loyalis Kader PartaiPersoalan muncul, jika kader partai yang mumpuni dan berhasil mengembalikan kejayaan partai tidak didukung partai, maka loyalis partai yang dikecewakan/dizalimi bisa berpaling ke partai lain. Jika sudah begini, tak perlu lagi pengkaderan anggota partai. Percuma pengkaderan, tokh dibiarkan begitu saja, bahkan dizalimi. Ibarat pohon yang ditanam mulai dari bibit hingga menjadi besar, setelah besar malah ditebang. Aneh bukan! Inilah komplikasi dari efek negatif Hegemoni koalisi partai politik. Bisa beda dengan hegemoni yang dilakukan oleh satu partai yang berkualitas, tentu akan memanfaatkan dan memprioritasan kader loyalisnya yang punya popularitas dan reputasi yang tidak diragukan lagi.